“Dia pikir akan bisa melihat Ka’bah dengan mudahnya, tapi kenyatannya, pandangannya seolah tertutup oleh kabut…”
Ini sebuah kisah tentang kesombongan dan keangkuhan seorang pedagang sukses. Dia merasa perjuangannya untuk menjadi orang kaya karena kerja kerasnya. Dia melupakan Tuhan sebagai Sang Pemberi, sehingga menutup mata batinnya untuk mengasihi orang miskin.
Sebut saja namanya H. Karna (disamarkan). Sebagai anak lelaki satu-satunya dari lima bersaudara, Karna kecil termasuk hidup dalam kondisi yang sangat sederhana. Sang bapak hanya pekerja serabutan, sedang ibu sekedar ibu rumah tangga.
Sebab itu, orang tua Karna selalu menanamkan pada anak-anaknya agar bisa menjadi orang yang mandiri secepat mungkin, tidak harus menunggu dewasa. Karena itu, saat remaja Karna sudah berani merantau ke Jakarta untuk mencari penghidupan sendiri, ikut sama teman-temannya.
Selama di Jakarta dia pernah melakoni pekerjaan sebagai kuli bangunan dan kerja serabutan lainnya. Tapi, entahlah, bagaimana kisahnya, dia akhirnya punya modal sehingga bisa membuat warung sembako, yang awalnya di tempat kontrakan. Tapi, makin lama usahanya sukses sehingga ia bisa membeli sebidang tanah di pinggir jalan dan di atasnya di bangun sebuah ruko untuk jualan.
Hari bertambah bulan dan berubah jadi tahun, usaha Karna semakin mengalami kemajuan. Dia pun seketika berubah menjadi orang yang kaya. Toko sembakonya punya cabang. Dia sendiri memiliki seorang istri dan anak. Kehidupan mereka terjamin. Mobil punya dan rumah cukup megah. Singkat kata, Karna benar-benar menjelma menjadi sosok yang disegani di sekitar tempat tinggalnya.
Ironinya, di tengah karunia besar yang ia dapat tersebut, justru mata batinnya menjadi tertutup. Ia berubah menjadi orang yang sangat pelit. Ia menilai kalau mendapatkan rejeki itu tidak gampang, sehingga setiap kali ada permintaan sumbangan dari warga untuk kegiatan masyarakat, ia selalu punya alasan untuk tidak berbagi. Kalau pun ngasih, hanya sedikit dan tidak sesuai dengan omset yang ia dapatkan setiap harinya.
Yang lebih miris lagi, matanya benar-benar tertutup kepada kaum dhu’afa, seperti kepada para pengemis. Setiap kali naik mobil dan di pinggir jalan melihat pengemis, dia sering mengejek, “Males banget jadi orang. Wong ya kerja kalau pengen jadi orang enak!”
Sudah terlalu sering ia mengumpat seperti itu kepada para pengemis jalanan. Bahkan, kalau ada pengemis yang bertandang ke rumahnya dan minta sedekah, ia tak pernah mengasihkannya. “Maaf Pak, terima kasih!” Tidak perduli, apakah pengemis itu benar-benar orang tua yang memang tidak kuat lagi untuk mencari nafkah atau anak muda yang masih gagah? Yang jelas, Karna berprinsip untuk selalu merendahkan orang miskin. Sebab, baginya, kekayaan itu akan mudah didapatkan jika mau bekerja keras. Ia pun sering mencontohkan dirinya kepada orang-orang tentang kesuksesan itu.
Saking pelitnya, ketika anaknya sakit demam tinggi pun tidak dibawa ke dokter. “Ah, penyakit kaya gitu sih bisa sembuh dengan minum obat x (tidak boleh disebutkan karena menyebutkan merek tertentu),” ujar Karna. Begitu yang selalu diucapkannya pada sang istri, ketika perempuan itu merajuk kepada suaminya perihal anaknya yang sedang sakit. Akhirnya, anaknya memang sembuh setelah minum obat yang diambil dari warungnya sendiri. Tapi, dalam waktu yang agak lama, berhari-hari.
Meski begitu, Karna memiliki rasa gengsi yang sangat tinggi. Saat dirinya disinggung kenapa tidak naik haji padahal uangnya banyak, muka Karna lekas merah. Harga dirinya merasa terinjak-injak. Karena seringnya mendengar ejekan semacam ini, akhirnya dengan angkuhnya ia mendaftarkan diri dan istrinya untuk naik haji.
“Mah, lihat saja nanti, mereka akan melihat kita akan jadi haji,” ujarnya dengan penuh kesombongan kepada sang istri.
Sang istri yang memiliki perangai berbeda dengan suaminya hanya bisa mengelus dada. Sang suamiseringkali dinasehati agar tidak kelewat batas dalam berperilaku, tapi tetap saja tidak pernah berubah. Bahkan, istrinya selalu dibentak, “Mah, kamu ini hanya seorang istri, tidak tahu apa-apa tentang saya. Sudah diam aja, tidak perlu kasih saya nasehat. Saya juga sudah paham.”
Jika sudah begitu, sang istri pun hanya diam dan mengikuti apa yang diperintahkan suami. Sebab, jika terus diladeni, yang ada mereka akan berantem.
Singkat kata, mereka pun resmi terdaftar sebagai calon haji yang akan berangkat pada tahun itu. Pada waktunya, mereka pun berangkat ke tanah suci. Meski dikenal pelit, Karna rupanya sudah mempersiapkan acara yang cukup besar di rumahnya untuk mengiringi kepergiannya ke tanah suci, mulai dari menyelenggarakan acara pesta dangdut hingga pengajian dengan mengundang kiayi kondang.
Melihat megahnya persiapan Karna dan istrinya ke tanah suci, tidak sedikit warga yang mencibirnya. “Kalau untuk kepentingan warga saja, aduh pelitnya minta ampun. Pas giliran untuk dia saja, dia mau menghambur-hamburkan uang,” ujar salah seorang warga.
Singkat kata, Karna dan istrinya sudah sampai di Mekkah. Mereka tinggal di maktab (pemondokan), layaknya jamaah haji yang lainnya. Suatu kali mereka ingin ke masjidil haram untuk melakukan thawaf. Mereka berdua pun masuk ke dalam masjid sekaligus untuk melihat Ka’bah. “Pa, coba lihat Ka’bah-nya besar sekali dan sangat megah,” ujar sang istri pada Karna, yang tidak lain suaminya sendiri.
“Di mana Ka’bahnya, Mah?” ujar Karna sambil menengok sana-sini untuk melihat bangunan yang dibungkus kain berwarna hitam tersebut.
“Ah, Papa ini bercanda. Masa di depan segitu besarnya gak kelihatan!” ujar sang istri sambil menunjukkan arah Ka’bah.
“Benar, Mah, papa tidak bercanda. Di mana Ka’bahnya?”
Sang istri benar-benar dibuat terkejut. Kali itu ia tidak lagi menganggap ucapan suaminya sebagai sebuah candaan. Itu pasti serius. Bagaimana bisa Ka’bah sebesar itu dan berada di depannya seperti tidak terlihat? Pasti ada sesuatu yang menutupi pandangannya.
“Emang yang papa lihat apa?” tanya sang istri sekali lagi.
“Papa seperti melihat kabut tebal. Pandangan papa benar-benar tertutup,” ujarnya.
Anehnya, Karna bisa melihat jamaah haji sedang berjalan berputar, sementara Ka’bah sendiri tak bisa dilihatnya. Subhanallah!
Oleh sang istri, Karna akhirnya disuruh bertaubat. Mungkin banyak kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini. Mungkin mata batinnya yang selalu menghardik orang-orang miskin membuat matanya tertutup untuk melihat keajaiban Tuhan itu.
Seketika Karna bertaubat dengan melakukan shalat sunnah di masjid haram dan berdoa kepada Allah agar dirinya diperkenankan untuk bisa melihat Ka’bah. Akhirnya, setelah itu Karna bisa melihat Ka’bah perlahan-lahan. Hal ini pun disyukuri oleh sang istri, yang sudah khawatir sejak awal.
Di masjidil haram itu, Karna menangis dan tiba-tiba menjadi orang yang sangat lemah. Kesombongannya selama ini menjadi runtuh. Di depan Ka’bah, ia berubah menjadi orang yang sangat kerdil, satu hal yang selalu ia tutupi saat di rumah. Di manakah kehebatan yang selama ini ia selalu pertontonkan ke warga? Ternyata sang istri yang selalu ia ejek ketika menasehatinya, jauh lebih mulia dibandingkan dirinya karena perempuan itu bisa melihat Ka’bah.
Setelah pulang haji, Karna pun berubah menjadi lebih baik. Mata batinnya tidak lagi tertutup saat melihat orang miskin. Batinnya kembali seperti semula saat masa kecilnya yang hidup dalam keprihatinan. Ia mulai menyadari bahwa kekayaannya selama ini, ia dapatkan tidak saja karena kerja kerasnya tapi karena pertolongan Tuhan melalui doa istri, anak-anak dan orang-orang yang menyayanginya.
Setelah itu pula, ia mulai sering mengunjungi kedua orang tuanya di kampung, yang selama ini hampir-hampir saja dialpakan setelah ia sukses di rantau dan punya keluarga baru.
Meski begitu, Karna tidak mau menyebutkan nama aslinya kepada pembaca budiman. Ia mau berkisah kepada Hidayah untuk berbagi hikmah saja, tapi tidak mau disebutkan identitasnya, termasuk foto dirinya. Semoga pembaca budiman bisa mengerti dan dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah ini! Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar