Ditinjau dari segi bahasa, kata iddah berasal dari kata ‘addad yang bermnakna al-ihsha. Kata iddah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja adda-ya’uddu yang berarti penghitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa, kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita.
Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian iddah dengan berbagai ungkapan, antara lain: Adalah nama waktu untuk menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan (dengan lelaki lain).
Dari rumusan di atas, dapat dipahami bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang wanita sejak ia berpisah dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut, wanita itu tidak dibolehkan untuk kawin dengan laki-laki lain.
Sementara menurut Departemen Agama RI, iddah adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu.
Menurut definisi ini, iddah disebabkan oleh dua hal: ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Namun, para ulama berpendapat bahwa dukhul (senggama), baik yang terjadi dalam nikah yang fasid maupun yang terjadi karena syubhat, juga mengharuskan iddah. Begitu pula menurut sebagian ulama, seperti Imam Malik, perzinaan juga mengakibatkan wanita harus ber-iddah. Bahkan menurut jumhur (selain Syafi’iyah), khalwat saja sudah cukup sebagai alasan bagi penetapan kewajiban iddah.
Di sisi lain, akibat iddah yang tergambar dari definisi Departemen Agama di atas hanyalah larangan untuk melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain (selain suami yang menceraikannya). Akan tetapi, larangan tersebut hanyalah satu di antara beberapa konsekuensi iddah. Konsekuensi lainnya masih ada, yaitu menyangkut keterikatan, nafkah, tempat tinggal, dan lainnya.
Seorang yang berada dalam masa iddah tidaklah berarti terlepas sama sekali dari suami yang menceraikannya. Begitu pula, suami itu tidak langsung dapat membebaskan diri dari tanggung jawab dan kewajibannya terhadap istri selama masa iddah.
Sehubungan dengan itu, para ulama menyimpulkan bahwa seorang pria tidak boleh menikahi wanita lain bila ia masih terikat dengan seorang wanita yang sedang berada dalam iddah, sedangkan wanita itu adalah salah satu di antara 4 orang istrinya. Pendapat terakhir ini didasarkan atas keyakinan bahwa wanita yang berada dalam iddah masih berstatus istri bagi suami yang menceraikannya.
Iddah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Allah berfirman, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddah-nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi pernah menginstruksikan kepada Fatimah binti Qays, “Ber-iddah-lah di rumah Ummu Maktum.”
Wanita yang sedang iddah hendaknya melaksanakan beberapa kewajiban berikut ini: (1) tidak boleh menikah dengan laki-laki lain; (2) tidak boleh meninggalkan rumah; (3) al-hidad atau al-ihdad, tidak boleh berhias diri sebagai bentuk masih belasungkawa atas kematian suaminya.
Demikian beberapa ketentuan iddah yang mesti diketahui oleh seorang wanita yang ditinggal suaminya baik karena perceraian atau kematian.
Eep K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar