Selasa, 04 Januari 2011

SUNAN SENDANG DUWUR, "MEMINDAHKAN MASJID DALAM SEMALAM"


Namanya hampir terlupakan. Padahal, ia turut andil dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa.

Kisah tentang walisongo tak pernah lepas dari kesalehan dan kesaktian (karamah). Demikian pula yang dialami oleh sunan yang lain, Sunan Sendang Duwur. Sejarah mencatat bahwa beliau pernah memindahkan sebuah masjid dalam semalam  seperti yang dilakukan oleh Jin Ifrit pada masa Nabi Sulaiman, saat memindahkan istana Ratu Bilqis dalam sekejap.
Kini, masjid yang dipindahkan oleh Sunan Sendang Duwur tersebut masih berdiri kokoh hingga sekarang dan banyak didatangi oleh para peziarah untuk melakukan ibadah di sana.
Nama aslinya adalah Raden Noer Rahmad. Ia putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Dilahirkan pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Makamnya terletak di atas bukit. Dulu, tempat ini merupakan candi peninggalan agama Hindu. Relief-relief candi tidak berbentuk personifikasi lugas seperti yang ada di candi-candi yang lain, lebih halus dan ukirannya lembut.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur sendiri memiliki arsitektur yang tinggi, yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa atau mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit, seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Lamongan. Di kompleks yang sama, terdapat pula makam-makam para santri Sunan Sendang Duwur, yang hingga kini dikeramatkan masyarakat sekitar. Walaupun komplek makam terletak di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin ke sana untuk berwisata ziarah.
Satu hal lagi, daerah di sekitar makam sunan sangat subur. Bangunan rumahnya cukup modern karena rata-rata pekerjaan mereka adalah pengrajin emas dan pemilik toko emas di beberapa daerah, terutama di Lamongan sendiri.

Boyong Masjid dalam Semalam
Terlepas dari segi arsitektur candi dan makam Sunan Sendang Duwur yang bernilai seni tinggi, sesungguhnya beliau telah menorehkan sejarah yang mengagumkan kepada umat Islam setelahnya. Konon, masjid kuno peninggalan sunan dibangun dengan cara yang aneh.
Kisahnya demikian. Setelah mendapatkan gelar Sunan Sendang Duwur dari Sunan Drajad, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, akhirnya beliau melapor kepada Sunan Drajad. Dan oleh Sunan Drajad, masalah ini disampaikan pula kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi Bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa berdakwah dan menyiarkan agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajad memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Mungkin untuk menanyakan tentang konstruksi bangunan masjid atau untuk menanyakan apakah masih ada kayu yang tersisa dari masjid tersebut yang bisa digunakan. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu, “Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.”
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Entahlah, bagaimana caranya masjid itu bisa pindah? Tidak ada data yang jelas mengenai hal ini, apakah dipindahkan secara gaib karena karamahnya atau dengan cara yang lain?
Masjid Sendang Duwur pun berdiri di Bukit Amitunon, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
Dua kisah di atas semuanya sangat logis. Jika kita menganut pendapat yang pertama, maka kisah ini mirip dengan pindahnya istana Ratu Bilqis ke kerajaan Nabi Sulaiman oleh Jin Ifrit. Artinya, perpindahan bangunan ini terjadi secara gaib. Apakah kasus yang terjadi pada masjid Sunan Sendang Duwur ini pun demikian, yakni dipindahkan secara gaib. Wallahu a’lam bil shawab!
Namun, jika alasan kedua yang dipakai yaitu masjid tersebut digotong secara beramai-ramai, maka hal ini menunjukkan bahwa masjid tersebut masih berbentuk panggung. Sebab, jika tidak, rasanya sulit sekali bisa digotong. Sekali lagi, tidak ada data yang jelas menunjukkan akan hal ini. Namun, penulis sendiri, lebih meyakini pendapat yang pertama. Karena kalau kita berbicara masalah kewalian atau karamah, maka otomatis kita membicarakan kelebihan-kelebihan yang bersifat sufistik –yang kadang sulit dicerna oleh akal. Semua ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan yang kuat terhadap Allah SWT.
Selain itu, kata-kata dari Mbok Rondo Mantingan kepada Sunan Sendang Duwur bahwa masjid tersebut akan menjadi miliknya jika bisa dipindahkan dalam semalam tanpa bantuan orang lain, menunjukkan bahwa Sunan Sendang Duwur melakukan pekerjaannya itu sendirian. Kalau bekerja sendiri, rasanya sulit sekali jika hali tu dilakukan secara indrawi, kecuali dengan ilmu gaib.
Yang jelas, kini, masjid tersebut telah mengalami banyak renovasi karena usianya yang sudah tua. Beberapa konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam, di sekitar masjid. Meski direnov, arsitektur masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya. Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan makam.
Salah satu peninggalan Sunan yang lainnya yang masih tersisa adalah mimbar, bedug dan empat gentong berukuran besar yang didapat dari kerajaan Majapahit.
Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri. Pada bagian masjid sendiri terdapat tiga pintu masuk untuk bagian depan. Di setiap pintu masuk bertuliskan angka tahun. Pintu sebelah kanan misalnya bertuliskan angka 1421 Saka, pintu tengah 1339 Hijriyah bertulisan arab, dan pintu sebelah kiri bertuliskan angka 1920 Masehi saat masjid ini direnovasi.
Selain peninggalan masjid yang terkenal, salah satu hal yang tak terlupakan dari Sunan Sendang Duwur adalah ajarannya tentang "mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu). Ajaran sunan ini dimaksudkan agar seseorang selalu berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Ya, konsep sedekah ala Sunan Sendang Duwur ini kemudian dipraktekkan oleh orang-orang zaman sekarang, sehingga sekarang kita dengar tentang keajaiban sedekah, mukjizat sedekah dan sebagainya. Jauh sebelum ini, Sunan Sendang Duwur telah mengajarkannya dengan baik kepada para pengikutnya.
Demikian sebagian kisah singkat tentang Sunan Sendang Duwur. Perjalanan dakwahnya sebagai seorang sunan di Pulau Jawa hampir terlupakan oleh umat Islam sekarang ini. Kita seolah-olah hanya mengenal sembilan wali. Padahal, peranan Sunan Sendang Duwur dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa tak bisa dilupakan. Banyak jejak peninggalannya yang bisa kita lihat hingga sekarang, yang menunjukkan akan kiprahnya yang sangat besar dalam perkembangan Islam di Jawa.

Khunaefi, S.Thi/Dimuat Hidayah edisi 111

Tidak ada komentar: