Menurut bahasa nusyuz adalah al-Irtifa’u (sesuatu yang tinggi). Atau menurut seorang lexicographer (ahli kamus) Imam Ar-Rhoghib, nusyuz adalah al-Irtifa’u minal Ardli (suatu tempat yang tinggi dari permukaan bumi) [Al Mu’jam, 2004, hal 548].
Dalam kesempatan yang lain, ada yang mengatakan bahwa nusyuz diambil dari an-Nasyz yang berarti tanah yang tinggi, karena pelakunya merasa lebih tinggi sehingga dia tidak merasa perlu untuk patuh.
Sedangkan secara istilah adalah kebencian suami istri kepada pasangannya. Wanita itu nusyuz kepada suaminya jika dia tidak patuh kepadanya (durhaka), suami nusyuz kepada istri jika dia memperlakukannya dengan buruk dan berpaling darinya (zalim).
Menurut Ibnu Katsir, nusyuz ialah seorang perempuan yang merasa lebih tinggi kedudukannya dari suaminya. Hal itu di buktikan dengan meninggalkan perintahnya, berpaling darinya dan membenci kepadanya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1997, juz I: hal 543).
Perbuatan nusyuz ini sangat dicela oleh agama, karena Islam memerintahkan istri agar patuh pada suaminya dan sebaliknya. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Kalaulah aku akan menyuruh seseorang untuk bersujud kepada yang lainnya, maka aku akan menyuruh seorang istri untuk bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami dari istrinya. (tafsir Ibnu katsir, 1997, juz I : hal 543).
Apabila istri masih saja berbuat nusyuz, maka ada tiga hal yang harus dilakukan oleh sang suami. Pertama, menasehatinya. Jika cara ini tidak mampu, maka gunakan cara kedua: berpisah tempat tidur dengannya. Apabila cara kedua tetap tidak membuatnya jera, maka pilih cara ketiga, yaitu memukulnya. Allah berfirman:
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An-Nisa: 34)
Tapi, seperti yang dikatakan oleh Imam Hasan al-Bishri bahwa proses pemukulan tersebut jangan sampai membuat bekas yang nampak pada tubuh si istri. Bahkan menurut para fuqaha lainnya pemukulan tersebut tidak boleh sampai mematahkan tulang dan anggota tubuh lainnya.
Perbuatan nusyuz juga bisa dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya walaupun dengan bentuk yang berbeda, yaitu bisa berupa berpaling dari si istri dan tidak memberikan kepadanya nafkah lahir dan bathin. Penyebab nusyuz-nya seorang suami bisa berbagai faktor yang melatar belakanginya yaitu bisa karena penyakit yang diderita istri, sudah tua usianya atau parasnya yang sudah tidak cantik lagi. (Fiqhu Sunah, tt, juz II : hal 199).
Apabila terjadi demikian maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk melakukan Shulh (perdamaian). Sebagaimana Firman Allah SWT, “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. “ (QS. An-Nisa: 128)
Pengertian as-Shulhu di sini adalah seorang istri boleh minta dicerai oleh suaminya jika telah tampak perbuatan nusyuz suami kepadanya. Atau jika tidak mau dicerai seorang istri harus rela kehilangan sebagian haknya di antara hak-haknya sebagai seorang istri dan mengijinkan suaminya untuk memakai harinya buat istrinya yang lain atau menikah lagi. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh istri Rasulullah Saw yaitu Saudah binti Zam’ah yang meminta Rosul tidak menceraikanya dan memberikan bagian harinya untuk Aisyah.
Menurut Imam Al-Qurthubi, “Perdamaian adalah kata umum lagi mutlak yang berarti bahwa perdamaian hakiki di mana jiwa tenteram kepadanya dan perselisihan terangkat adalah lebih baik daripada talak, termasuk dalam makna ini semua kesepakatan yang disetujui oleh suami dan istri, dalam bentuk harta atau bermalam atau selainnya.”
Eepkholic/Dimuat Hidayah edisi 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar