Gunung Merapi telah mengeluarkan Wedus Gembel (Awan Panas). Sebagian orang menilai bahwa para dewa atau penghuni gunung tersebut murka. Benarkah demikian? Dan, sebenarnya, apakah benar di balik gunung-gunung itu ada penghuni gaibnya?
Bagi kita, gunung termasuk salah satu ciptaan Allah. Keberadaannya sangat penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi. Ia menjadi tempat berteduh dari sengatan matahari yang sangat panas. Dari sana pula mengalir air segar yang kemudian bisa dinikmati oleh milyaran manusia.
Tapi, benarkah di balik gunung-gunung itu ada penghuninya?
Kita mafhum bahwa setiap sisi dari alam ini ada makhluk gaibnya alias setan atau iblis. Apakah itu di rumah, dapur, kantor, rel kereta api, stasiun, pasar dan sebagainya? Maklum, jumlah makhluk gaib itu jauh lebih banyak dibandingkan manusia. Karena itu, mereka menyebar di mana-mana. Tapi, apakah makhluk-makhluk gaib tersebut mendiami gunung dan menguasainya? Artinya, mereka pula yang mengendalikan gunung. Ketika gunung itu tidak dipelihara oleh kita, misalnya dengan memberikan sajian-sajian, maka penghuninya akan murka dan itu bisa membahayakan bagi eksistensi gunung itu sendiri seperti erupsi dan meletus.
Bagi Islam, pemahaman seperti itu jelas tidak benar. Kita memang diharuskan percaya kepada alam gaib. Tapi, bukan berarti kita mesti bergantung kepadanya dalam urusan-urusan duniawi. Kita tetap percaya pada Allah, yang mengendalikan semua makhluk-Nya di muka bumi, termasuk gunung itu sendiri. Artinya, ketika gunung itu meletus, selain faktor alam juga karena keputusan Tuhan yang menghendaki kejadian seperti itu. Ketika Tuhan tidak berkehendak gunung itu meletus, maka tidak akan terjadi. Jadi, bukan karena sebab lain, misalnya dedemit atau makhluk gaib yang menghuni gunung tersebut.
Namun, di berbagai daerah, khususnya di sekitar pegunungan, punya mitos yang sangat kuat tentang adanya penghuni gunung yang sifatnya gaib. Karena itu, pada waktu-waktu tertentu, daerah masyarakat sekitar pegunungan tidak jarang melakukan ritual untuk menghormati sang penghuni gunung tersebut. Misalnya saja pada masyarakat sekitar Gunung Rinjani. Konon, gunung ini dikuasai oleh Dewi Anjani. Karena itu, setiap purnama tiba, warga sekitar berduyun-duyun mendaki gunung ini untuk melakukan ritual tabur mas.
Di Gunung Gamalama Ternate apresiasi terhadap gunung juga tak beda. Gunung yang memecah pulau Ternate yang luasnya hanya 12 kilometer ini punya danau yang dipercaya dihuni buaya putih. Buaya itu dianggap sebagai penjaga kedamaian alam setempat. Mereka yakin jika buaya diusik dan terusik, maka lahar Gamalama akan berubah arah tidak seperti biasanya. Lahar itu akan semburat seperti Merapi sekarang yang menebar ke mana-mana.
Lalu Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditengarai banyak dihuni makhluk gaib. Salah satunya bernama Abdi Dua Lawu yang sudah mendiami gunung tersebut selama 450 tahun. Konon, dhemit ini suka bikin onar dan mengacau sampai sekarang. Wajahnya memang tidak menakutkan, tapi kemana-mana selalu membawa parang. Sehingga penampakannya sering membuat takut yang melihat. Setelah dia berbuat onar atau usil biasanya akan cepat menghilang, karena takut bila ada yang menyiksanya dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Penghuni Gunung Lawu lainnya bernama Nyai Harjilah Rubiah, yang asalnya dari Pantai Selatan. Dia suka memakai jarit dan kebaya. Wajahnya ayu, kalau berdandan suka memakai wewangian yang harum semerbak. Biasanya, bau wangi akan muncul lebih dulu sebelum sosok pemakainya muncul.
Yang sedang hangat dibicarakan, yaitu Gunung Merapi, konon di sana juga dipercayai didiami oleh makhluk gaib bernama Mbah Petruk. Karena itu, saat gunung ini mengeluarkan wedus gembel (awan panas)-nya beberapa saat yang lalu, seorang fotografer berhasil memotret semburan awan di atas gunung tersebut berbentuk kepala Petruk, Tokoh Pewayangan terkenal di Jawa. Ada yang menyebutkan bahwa Mbah Petruk inilah yang dikenal sebagai Eyang Merapi. Konon, ia tinggal di sebuah keraton gaib di gunung Merapi, yang masuknya melalui gapura atau pintu gerbang bernama gunung Wutah.
Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya, seperti "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro.” Menurut kepercayaan, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal.
Di Gunung Karangetang Pulau Halmahera mistisisme itu kian lekat lagi. Suku Tugutil yang berdiam di seputaran gunung ini sehari-hari menjalani hidup yang kental tradisi. Itu dari kelahiran, dewasa sampai kematian. Malah jika ada warga yang meninggal, untuk mengusir roh buruk yang disebut Gomanga, mereka melakukan ritus unik untuk pengusiran sebelum mengantar si mati ke tengah hutan. Sambil mabuk mereka membabat apa saja yang dijumpai.
Dan di Pulau Timor yang dikangkangi Gunung Mutis samalah posisinya. Gunung ini juga diperlakukan sebagai area titah. Perubahan yang terjadi diasumsikan sebagai bagian dari pesan gaib untuk manusia. Berkat itu alam tetap lestari, terjaga, karena saling 'menghormat' antara alam dan manusia.
Di Bukit Dirun, lereng Gunung Mutis, misalnya, sesaji tak sulit ditemukan. Area ini dipercaya sebagai pemakaman kuno. Makam yang terbentuk sebelum zaman es, dan jauh pra kawasan ini timbul dari dasar laut untuk menjadi daratan. Dan itu logis jika dilihat kontur dan stuktur tanah bukit ini yang berkarang-karang.
Menurut Djoko Suud Sukahar, pemerhati budaya, mitos-mitos itu memang perlu disingkap misterinya. Itu agar tidak berubah menjadi dongeng yang kelak nglenik. Para sejarawan Indonesia dituntut untuk menguak segala mitos itu agar sejarah negeri ini tidak seperti sekarang, sejarah dongeng. Raja-raja yang pernah memerintah dianggap mokswa (hilang secara gaib) dan hanya serat serta babad yang bisa dijadikan rujukan untuk mengungkap sebuah awal.
Sebab, mitos itu terkadang mempunyai peran penting bagi lestarinya budaya bangsa. Tabu dan mistik memberi pengamanan terhadap terjaganya alam dan benda yang disakralkan. Tanpa itu, rasanya hampir bisa ditebak kekayaan ini akan musnah ditransaksikan.
Namun, satu hal yang patut dicatat, Mbah Petruk atau mbah apapun namanya, kalau diberikan sesaji dan dipercaya sebagai penghuni gunung, yang pasti adalah makhluk yang ingkar kepada Allah SWT. Itu pun kalau memang nyata ada.
Menurut Ahmad Sarwat, Lc., memang dalam sudut pandang agama Islam, adanya makhluk gaib itu tidak diingkari wujudnya. Bahkan, seorang ilmuwan NASA dari Mesir bernama Farouk El-Baz mempercayai akan hal ini. “Jin dan dedemit itu ada, menurut pandangan dan keyakinan saya pribadi. Dan ini termasuk masalah keimanan. Saya sendiri tidak mengetahuinya, dan tidak mengetahui sesuatu apapun tentangnya. Yang jelas, mereka hidup bersama kita di alam semesta ini,” ujarnya.
Tapi, ujar Ahmad Sarwat lebih lanjut, yang harus diingkari adalah sikap menjadikannya sebagai sesuatu yang ditakuti, atau disucikan dan bahkan disembah. Memberikan sesaji serta meminta doa kepada makhluk gaib dalam pandangan Islam adalah sebuah dosa dan sekaligus syirik. Iman kepada yang gaib di sini hanya terbatas mengakui keberadaannya, tetapi sama sekali tidak menyerahkan nasib kepadanya.
Eep Khunaefi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar