Jumat, 12 Agustus 2011

Ponpes Darussalam, "SPIRIT GONTOR SANG PENDIRI"


Ada beberapa pesantren di Indonesia yang kerapkali menjadi kiblat bagi pesantren-pesantren yang lain. Misalnya, pesantren Gontor dengan sistem bilingual (dua bahasa)-nya dan Pesantren Lirboyo dengan kitab kuningnya. Kedua sistem ini punya kelebihan dan kelemahan. Dan pesantren Darussalam di Natar, Lampung Selatan, mencoba mengambil sistem yang ada di Gontor ini. 

      Semuanya bermula pada 1970-an, saat KH. Ali Rajamarga menyantrenkan anaknya (KH. Rolip Ali) di Pesantren Darussalam Gontor yang ada di Jawa Timur. Melihat sistem pendidikan yang diajarkan di Gontor sangat bagus, yaitu menekankan bahasa Arab dan Inggris (bilingual) dalam percakapan sehari-hari para santri, maka hal ini mengusik batin beliau untuk mendirikan hal serupa di Lampung.
      Sebagai pengusaha kopi dan cengkeh yang tak pernah sekolah, KH. Ali Rajamarga yang sudah almarhum ini tak perlu berpikir panjang untuk mewujudkan rencana ini. Dengan uang yang cukup di tangan, maka beliau pun segera membuka lahan untuk pendirian pesantren dengan nama serupa, yaitu Darussalam, berlokasi di Jl. Lintas Sumatera Km.30-31, Banjar Negeri Natar, Lampung Selatan. Kini, pesantren telah memiliki lahan 14 hektar. Hanya 4 hektar yang digunakan untuk lembaga pendidikan pesantren dan sisanya ditanami pohon Sengon, yang banyak berdiri di sisi-sisi jalan menuju pesantren.
      Sebagai pesantren yang terinspirasi dari sistem Gontor Jawa Timur, otomatis sistem pendidikan yang diterapkan di Darussalam Lampung ini pun sama. Yaitu, setiap hari para santri diwajibkan untuk berbicara bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak, mereka akan dikenakan sanksi administratif berupa membersihkan water closed (WC), halaman pesantren dan sebagainya.
      Dalam perjalanannya, ternyata Pesantren Darussalam Lampung ini pun cukup berhasil. Terbukti, banyak orang tua yang ingin menyantrenkan anaknya di pesantren ini. Sejak tahun 1974-1987 (masa-masa awal), pesantren rata-rata menerima 750 anak tiap angkatan. Lalu, meningkat lagi pada 1987-1998 yang merupakan masa keemasan, yaitu 3000 santri. Sejak itu, pesantren ini pun seolah menjadi trandmark pesantren modern di Lampung.
      Cobalah Anda lihat bangunan-bangunan yang cukup megah dan asri Pesantren Darussalam, maka santri pun seolah semakin termanjakan dengan situasi sosial dan sistem pendidikan yang ada. Maka, tidak heran, jika santri yang belajar di sini banyak yang datang dari penjuru daerah, tidak saja dari daerah Lampung tapi juga dari daerah Jawa, dan sebagainya.
      Pada masa puncaknya, pesantren ini kerapkali dikunjungi para pejabat, mentri, para hakim, anggota dewan, staf ahli dan para ulama dari berbagai penjuru Indonesia. Bahkan, duta besar dari negara-negara sahabat juga kerapkali datang ke tempat ini, untuk meninjau dan menjalin persahabatan.
      Ya, secara sosial maupun edukasi, pesantren Darussalam telah memberikan dampak positif yang sangat banyak, tidak saja buat lingkungan sekitar, yaitu daerah Natar, tapi juga daerah-daerah di sekitarnya. Setidaknya iklim religius telah terbentuk di lingkungan sekitar pesantren.
      Namun, memasuki tahun 1998-sekarang pesantren ini pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Tantangan globalisasi yang semakin akut, rupanya ikut dirasakan juga oleh pesantren ini. Tampaknya, pilihan orang tua yang lebih senang memasukkan anak-anaknya kepada lembaga-lembaga pendidikan formal, rupanya ikut berpengaruh pada perkembangan pesantren ini. Lambat laun, santri yang belajar di pesantren ini pun semakin berkurang; dan itu juga dirasakan oleh pesantren-pesantren lainnya di Indonesia. Namun, justru, pada saat bersamaan kita kerapkali melihat pesantren-pesantren baru bermunculan yang menawarkan sesuatu yang baru, seperti pesantren wirausaha dan sebagainya.
      Bagi Drs. Amin Effendi, AM, ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi pesantren, khususnya pesantren Darussalam. “Setelah saya denger dari berbagai kiayi pesantren, ternyata masalahnya sama. Pesantren memang sedang dihadapkan pada tantangan yang serius akibat globalisasi. Jadi, kita harus pandai-pandai untuk menyesuaikan diri,” ujar lelaki yang tampak bersahaja ini.
      Meski begitu, lelaki yang juga menjadi pengasuh pesantren ini, tetap akan berusaha semaksimal mungkin untuk memajukan ini. “Bukan berarti ketika sedang merosot, lalu kita tinggalkan. Kan kita juga niatnya untuk beribadah kepada Allah,” ujar sosok yang sudah bergabung dengan pesantren sejak awal keberadaannya ini kalem.
      Dalam sistem pendidikannya, pesantren ini memadukan dua kurikulum: kurikulum Depag dan kurikulum pondok. Masa belajar yang ditempuh santri adalah 6 tahun (MTsN dan MAN), yang dinamakan pesantren dengan istilah Kulliyatul Mu'allimin Mu'allimat Al-Islamiyah (KMI). Jadi, setelah santri tamat dari pendidikan, mereka akan mendapatkan 3 ijazah sekaligus: MTsN, MAN dan KMI. 
      Selain itu, di pesantren juga diadakan pendidikan untuk Raudhatul Athfal Darussalam (RAD) dan Madrasah Ibtidaiyah Darussalam (MID). Bahkan, sebelumnya, pesantren juga pernah menyelenggarakan lembaga pendidikan tinggi yang bernama STAID (Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam). Lembaga perguruan tinggi ini sempat beberapa kali meluluskan mahasiswa dan mahasiswinya. Namun, karena beberapa hal, sementara STAID ditiadakan dulu.
      Kini, menurut Drs. Amin Effendi, AM, pesantren terus berbenah diri agar selalu bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, terutama agar tidak kehilangan atau ditinggalkan oleh santri. Yang jelas, satu hal yang menjadi prinsip pesantren adalah tetap mempertahankan sekolah agama, bukan sekolah umum semacam SMP atau SMA, seperti yang pernah diusulkan oleh berbagai pihak. Semoga pesantren yang berdiri karena spirit Gontor dalam diri sang pendirinya ini, terus eksis di tengah-tengah masyarakat! Amien.

KGS ABU BAKAR HAMID (64 TH), “3 Bulan di Kapal, di Tengah Terjangan Peluru”


Dibanding zaman sekarang, orang dahulu penuh susah payah untuk bisa berangkat haji. Sebab, dulu masih pakai kapal laut sehingga harus berbulan-bulan berada di tengah laut. Belum lagi, berbagai aral yang menghadang, seperti yang dialami oleh bapak yang satu ini.

Sebut saja namanya Kgs Abu Bakar Hamid. Namanya mengingatkan kita pada Khalifah Islam yang pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Tapi, dia hanyalah orang biasa, bukan pejabat atau anak keturunan darah biru. Profesinya hanyalah seorang petani kelapa yang diolahnya menjadi kopra. Namun, jangan salah, dia memiliki beberapa anak buah yang membantu pekerjaannya itu.
Sebagai seorang petani kepala, sebenarnya usia Abu Bakar saat itu masih terlalu muda, yaitu anak SMA. Namun, jiwa petani yang ditanamkan orang tua sejak kecil ikut menenggelamkannya pada dunia perkebunan (tani-menani) tersebut. Dari hasil kebunnya ini, kehidupan Abu Bakar dan keluarganya pun cukup bahagia dan mapan. Maklum, pohon-pohon kelapanya sangat banyak dan berdiri di atas lahan puluhan hektar. Bisnis ini kepunyaan keluarganya.

ISMAIL,“Kematian Ayah dan Durhakanya Anak, Membuatnya Bertaubat”


Banyak hal yang membuat seseorang berubah. Salah satunya adalah persoalan rumah tangga dan anak. Demikian pula yang dialami oleh kakek yang satu ini. 

      Sehari-hari dipanggil Ismail. Usianya sudah cukup tua, 62 th. Meski begitu, ia masih tampak bersemangat dan segar bugar. Rahasianya adalah mengabdi pada Tuhan seikhlas-ikhlasnya.
      Ya, lelaki yang sehari-hari dipanggil pak haji meski tak pernah pergi ke Mekkah ini, memiliki pengalaman yang sangat getir sebelum ia memutuskan diri untuk tinggal di masjid dan menghabiskan sisa hidupnya dengan beribadah dan mengurus tempat ibadah tersebut.
      Sebagai anak seorang tentara, saat remaja dan muda, Ismail terbilang sangat bandel. Belum saja sekolah SMA rampung ia sudah menikah dengan wanita pujaannya. Namun, belum lama rumah tangga dirajutnya ia malah sudah bersenang-senang dengan perempuan lain (berselingkuh). Parahnya, hal itu dilakukannya di depan sang istri.