1. Eksplorasi tema yang akan diangkat. Biasanya kita harus ‘hunting’ fenomena yang sedang hangat dibicarakan. Atau, bisa juga tema ‘abadi’ seperti masalah cinta. Tapi, kita coba bahas dari sudut pandang lain. Meski nilainya Islam, tetapi ‘rasanya’ khas: bahasa, metode penyampaian, segmentasi pembaca, dan
solusi praktis/sistemik.
2. Setelah tema kita genggam. Langkah kedua adalah menentukan judul yang kira-kira menarik. Usahakan judul untuk buku nonfiksi, ‘cuma’ terdiri dari 3 kata. Maksimal boleh 4 kata. Selain menarik, juga hemat kata. Simple deh.
3. Membuat outline. Ini diperlukan supaya pembahasan tidak melebar ke mana-mana. Pagari dengan beberapa bab yang mungkin untuk dibuatkan tulisannya. Jumlah bab bergantung kepada berapa banyak materi yang akan kita kupas habis dalam satu buku tersebut. Contohnya bisa lihat buku-buku yang sudah ada. Simak bagaimana para penulis itu menuangkan gagasannya dalam sebuah buku. Khusus untuk buku JNC, saya dan Iwan cuma butuh 4 bab. Itu pun terdiri dari 4 ide pokok; filosofi cinta, fakta perwujudan cinta, bagaimana mengendalikan cinta, dan solusi akhir dari ‘masalah’ cinta. Dan dengan catatan, cinta di sini adalah yang langsung berhubungan dengan perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Masing-masing bab terdiri dari beberapa tulisan yang memungkinkan untuk dibahas. Dikelompokkan dengan amat rapi, dan sedetil mungkin sehingga tidak ada pembahasan yang terlewat. Ini memang relatif, bergantung kepada faktor si penulis sebagai manusia dan sudut pandang yang dimilikinya selama ini (ideologis atau tidak).
4. Pastikan dalam pembuatan outline itu terdiri dari formula standar: pemaparan fakta, pembahasan terhadap fakta, dan solusi Islam (baik praktis maupun sistemik). Arahnya harus sudah jelas. Jika keroyokan, maka ini kudu sering didiskusikan supaya terjaga alurnya. Alurnya boleh detil boleh secara global saja. Tapi untuk kedua buku kami (JJS dan JNC) yang ditulis berdua itu tidak dilakukan karena kebetulan sudah bisa dipahami alur penulisannya. Bahkan outline yang dibuat pun langsung fixed jadi daftar isi. Pengalaman yang agak melelahkan sewaktu membuat buku Yes! I am MUSLIM. Itu buku tebel banget karena saya
ingin jadikan buku itu sebagai masterpiece dari semua karya saya. Buku itu saya buat dalam waktu setahun. Lambat banget, tapi waktu setahun itu habis untuk nyari data dan editing. Sementara nulis mentahnya sendiri selama 1 bulan. Itu pun saya nulis nggak tiap hari, seminggu paling 3 atau 4 hari dengan durasi
maksimal 3 jam.
5. Langkah selanjutnya adalah penelusuran fakta yang akan dijadikan sebagai bahan/data penulisan. Ini amat penting bagi sebuah buku nonfiksi. Jangankan nonfiksi, buku fiksi saja harus jelas datanya yang akan digunakan sebagai latar cerita tersebut. Seakurat mungkin. Sebab, kalo salah ambil fakta atau sekadar
cuap-cuap aja kan nggak mutu istilahnya. Jadi tahapan ini amat penting dilakukan. Data-data itu bisa didapat dari berbagai sumber; digital dan nondigital.
Saya dan Iwan sejauh ini mengandalkan sourcing data di internet. Untuk menghemat waktu, pencarian data biasanya saya dan Iwan mempercayakan kepada seorang kawan yang memang ‘tekun’ banget dalam penelusuran datanya. Asal diberi batasan dan spesifikasinya insya Allah bisa berjalan. Kalo pun ada kekurangan di sana-sini, biasanya kami langsung hunting lagi sebagai pelengkap. Tapi untuk buku JNC, saya dan Iwan langsung memburu data sendiri. Beda dengan Jangan Jadi Seleb, karena harus kuat di data, kami menyerahkannya kepada seorang kawan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang kami inginkan. Enaknya lagi, ‘perpustakaan digital’ yang dimiliki media tempat kami bekerja (sekarang udah ‘almarhum’, yakni Majalah Permata) udah cukup memberi kesegaran untuk membuat tulisan lebih berbobot. Catatan: datanya terdiri dari ‘dalil aqli’ dan ‘dalil naqli’. Jadi, selain data dari fakta di lapangan, juga data yang sifatnya untuk menguatkan argumentasi, yakni dari al-Quran, hadits, ijma sahabat, dan juga qiyas. Tapi yang pasti, tulisan itu kudu ideologis!
6. Setelah data terkumpul, jika sendiri menulisnya, maka saya biasanya langsung saja menyusun tulisan (seperti pada buku Jangan Jadi Bebek). Tapi untuk Jangan Jadi Seleb dan Jangan Nodai Cinta, saya membagi tanggung jawab penulisan dengan Iwan. Untuk JNC, masing-masing dua bab. Terserah aja mau pilih yang mana. Tapi karena saya dan Iwan udah tahu karakter tulisan masing-masing (maklum, sejak tahun 1989 bareng terus dan punya keterampilan menulis untuk segmen remaja), maka posisi penanggung jawab utama untuk bab-bab yang sudah dibuatkan outlinenya langsung saya tentukan; bab 1 dan bab 3 bagian Iwan, sementara bab 2 dan bab 4 saya yang pegang. Setelah kelar, tukar posisi dalam mengedit. Terakhir, saya yang edit total dari semua tulisan. Termasuk pengaturan font, footnote dan kroscek data. Melelahkan memang. Tapi alhamdulillah, hasilnya juga lumayan. J
7. Selama penulisan, update data terbaru tetap dilakukan. Supaya terasa hangat terus. Itu dilakukan sampe editing akhir. Sangat boleh jadi fakta-fakta terbaru akan menggeser data yang sudah kita buat. Tak masalah, selama memang itu memiliki nilai jual tinggi sebagai sebuah ide.
8. Jangan lupa, tentukan deadline penulisan. Kalo nggak, bisa jadi akan molor terus. Bukankah kita perlu target dan itu harus terukur? Buku JJS kami patok maksimal 3 bulan (karena sourcing datanya yang agak lama, yakni hampir 2 bulan. Sementara untuk penulisan kami membutuhkan 1 bulan). Untuk JNC kurang lebih sama. 3 bulan adalah patokan standar kami untuk buku nonfiksi. Bahkan kalo keroyokan lebih enak lagi. Karena kadang muncul ide-ide segar dari teman nulis kita. Jadi lengkap kan? Meski tentunya bukan berarti menulis sendiri tidak bagus, lho. Itu mah bergantung kepada kreativitas penulisnya.
9. Menerbitkan buku kita. Nah, kalo udah semua dilakukan, langkah berikutnya adalah ‘mencari’ penerbit. Modal nekat aja. Kirim ke berbagai penerbit secara berurutan print out dari buku kita. Pokoknya pede. Harus tahu diri juga kalo kita belum dikenal siapa pun. Ini yang lumayan lama euy. Karena biasanya naskah
ngendon di sana minimal 1 bulan. Maksimal 3 bulan. Bayangkan, jika satu penerbit menolak, maka mulai lagi dari nol. Di penerbit kedua, dengan waktu yang kira-kira sama. Wuih, jenuh juga kan nunggunya? Daripada manyun, akhirnya saya suka ‘iseng’ nyari tema lain dan siap-siap bikin buku baru. Sekadar tahu saja, buku JJB sudah mampir di tiga penerbit. Tapi semuanya mengembalikan draft buku tersebut. Tapi alhamdulillah semangat saya yang menggebu disambut penerbit GIP, sekarang alhamdulillah jadi buku best seller. Tapi berbeda jika kita kebetulan udah ‘ngetop’ prosesnya jadi lebih mudah. Menyenangkan sekali
bukan? Bahkan sangat boleh jadi kita akan diuber beberapa penerbit yang minta naskah ke kita. Moga-moga tips singkat ini membuka wawasan dalam menulis buku. Tapi semua yang saya paparkan tersebut, hanya satu yang harus tetep dijaga agar jangan sampe padam: MOTIVASI. Tanpa itu, saya kira keinginan hanya sebatas lamunan saja. Oke deh, jangan berhenti nulis dan tetep semangat![]
sumber: osilihin.com
solusi praktis/sistemik.
2. Setelah tema kita genggam. Langkah kedua adalah menentukan judul yang kira-kira menarik. Usahakan judul untuk buku nonfiksi, ‘cuma’ terdiri dari 3 kata. Maksimal boleh 4 kata. Selain menarik, juga hemat kata. Simple deh.
3. Membuat outline. Ini diperlukan supaya pembahasan tidak melebar ke mana-mana. Pagari dengan beberapa bab yang mungkin untuk dibuatkan tulisannya. Jumlah bab bergantung kepada berapa banyak materi yang akan kita kupas habis dalam satu buku tersebut. Contohnya bisa lihat buku-buku yang sudah ada. Simak bagaimana para penulis itu menuangkan gagasannya dalam sebuah buku. Khusus untuk buku JNC, saya dan Iwan cuma butuh 4 bab. Itu pun terdiri dari 4 ide pokok; filosofi cinta, fakta perwujudan cinta, bagaimana mengendalikan cinta, dan solusi akhir dari ‘masalah’ cinta. Dan dengan catatan, cinta di sini adalah yang langsung berhubungan dengan perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Masing-masing bab terdiri dari beberapa tulisan yang memungkinkan untuk dibahas. Dikelompokkan dengan amat rapi, dan sedetil mungkin sehingga tidak ada pembahasan yang terlewat. Ini memang relatif, bergantung kepada faktor si penulis sebagai manusia dan sudut pandang yang dimilikinya selama ini (ideologis atau tidak).
4. Pastikan dalam pembuatan outline itu terdiri dari formula standar: pemaparan fakta, pembahasan terhadap fakta, dan solusi Islam (baik praktis maupun sistemik). Arahnya harus sudah jelas. Jika keroyokan, maka ini kudu sering didiskusikan supaya terjaga alurnya. Alurnya boleh detil boleh secara global saja. Tapi untuk kedua buku kami (JJS dan JNC) yang ditulis berdua itu tidak dilakukan karena kebetulan sudah bisa dipahami alur penulisannya. Bahkan outline yang dibuat pun langsung fixed jadi daftar isi. Pengalaman yang agak melelahkan sewaktu membuat buku Yes! I am MUSLIM. Itu buku tebel banget karena saya
ingin jadikan buku itu sebagai masterpiece dari semua karya saya. Buku itu saya buat dalam waktu setahun. Lambat banget, tapi waktu setahun itu habis untuk nyari data dan editing. Sementara nulis mentahnya sendiri selama 1 bulan. Itu pun saya nulis nggak tiap hari, seminggu paling 3 atau 4 hari dengan durasi
maksimal 3 jam.
5. Langkah selanjutnya adalah penelusuran fakta yang akan dijadikan sebagai bahan/data penulisan. Ini amat penting bagi sebuah buku nonfiksi. Jangankan nonfiksi, buku fiksi saja harus jelas datanya yang akan digunakan sebagai latar cerita tersebut. Seakurat mungkin. Sebab, kalo salah ambil fakta atau sekadar
cuap-cuap aja kan nggak mutu istilahnya. Jadi tahapan ini amat penting dilakukan. Data-data itu bisa didapat dari berbagai sumber; digital dan nondigital.
Saya dan Iwan sejauh ini mengandalkan sourcing data di internet. Untuk menghemat waktu, pencarian data biasanya saya dan Iwan mempercayakan kepada seorang kawan yang memang ‘tekun’ banget dalam penelusuran datanya. Asal diberi batasan dan spesifikasinya insya Allah bisa berjalan. Kalo pun ada kekurangan di sana-sini, biasanya kami langsung hunting lagi sebagai pelengkap. Tapi untuk buku JNC, saya dan Iwan langsung memburu data sendiri. Beda dengan Jangan Jadi Seleb, karena harus kuat di data, kami menyerahkannya kepada seorang kawan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang kami inginkan. Enaknya lagi, ‘perpustakaan digital’ yang dimiliki media tempat kami bekerja (sekarang udah ‘almarhum’, yakni Majalah Permata) udah cukup memberi kesegaran untuk membuat tulisan lebih berbobot. Catatan: datanya terdiri dari ‘dalil aqli’ dan ‘dalil naqli’. Jadi, selain data dari fakta di lapangan, juga data yang sifatnya untuk menguatkan argumentasi, yakni dari al-Quran, hadits, ijma sahabat, dan juga qiyas. Tapi yang pasti, tulisan itu kudu ideologis!
6. Setelah data terkumpul, jika sendiri menulisnya, maka saya biasanya langsung saja menyusun tulisan (seperti pada buku Jangan Jadi Bebek). Tapi untuk Jangan Jadi Seleb dan Jangan Nodai Cinta, saya membagi tanggung jawab penulisan dengan Iwan. Untuk JNC, masing-masing dua bab. Terserah aja mau pilih yang mana. Tapi karena saya dan Iwan udah tahu karakter tulisan masing-masing (maklum, sejak tahun 1989 bareng terus dan punya keterampilan menulis untuk segmen remaja), maka posisi penanggung jawab utama untuk bab-bab yang sudah dibuatkan outlinenya langsung saya tentukan; bab 1 dan bab 3 bagian Iwan, sementara bab 2 dan bab 4 saya yang pegang. Setelah kelar, tukar posisi dalam mengedit. Terakhir, saya yang edit total dari semua tulisan. Termasuk pengaturan font, footnote dan kroscek data. Melelahkan memang. Tapi alhamdulillah, hasilnya juga lumayan. J
7. Selama penulisan, update data terbaru tetap dilakukan. Supaya terasa hangat terus. Itu dilakukan sampe editing akhir. Sangat boleh jadi fakta-fakta terbaru akan menggeser data yang sudah kita buat. Tak masalah, selama memang itu memiliki nilai jual tinggi sebagai sebuah ide.
8. Jangan lupa, tentukan deadline penulisan. Kalo nggak, bisa jadi akan molor terus. Bukankah kita perlu target dan itu harus terukur? Buku JJS kami patok maksimal 3 bulan (karena sourcing datanya yang agak lama, yakni hampir 2 bulan. Sementara untuk penulisan kami membutuhkan 1 bulan). Untuk JNC kurang lebih sama. 3 bulan adalah patokan standar kami untuk buku nonfiksi. Bahkan kalo keroyokan lebih enak lagi. Karena kadang muncul ide-ide segar dari teman nulis kita. Jadi lengkap kan? Meski tentunya bukan berarti menulis sendiri tidak bagus, lho. Itu mah bergantung kepada kreativitas penulisnya.
9. Menerbitkan buku kita. Nah, kalo udah semua dilakukan, langkah berikutnya adalah ‘mencari’ penerbit. Modal nekat aja. Kirim ke berbagai penerbit secara berurutan print out dari buku kita. Pokoknya pede. Harus tahu diri juga kalo kita belum dikenal siapa pun. Ini yang lumayan lama euy. Karena biasanya naskah
ngendon di sana minimal 1 bulan. Maksimal 3 bulan. Bayangkan, jika satu penerbit menolak, maka mulai lagi dari nol. Di penerbit kedua, dengan waktu yang kira-kira sama. Wuih, jenuh juga kan nunggunya? Daripada manyun, akhirnya saya suka ‘iseng’ nyari tema lain dan siap-siap bikin buku baru. Sekadar tahu saja, buku JJB sudah mampir di tiga penerbit. Tapi semuanya mengembalikan draft buku tersebut. Tapi alhamdulillah semangat saya yang menggebu disambut penerbit GIP, sekarang alhamdulillah jadi buku best seller. Tapi berbeda jika kita kebetulan udah ‘ngetop’ prosesnya jadi lebih mudah. Menyenangkan sekali
bukan? Bahkan sangat boleh jadi kita akan diuber beberapa penerbit yang minta naskah ke kita. Moga-moga tips singkat ini membuka wawasan dalam menulis buku. Tapi semua yang saya paparkan tersebut, hanya satu yang harus tetep dijaga agar jangan sampe padam: MOTIVASI. Tanpa itu, saya kira keinginan hanya sebatas lamunan saja. Oke deh, jangan berhenti nulis dan tetep semangat![]
sumber: osilihin.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar