Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang berfungsi memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan menyiarkan ajaran Islam, dengan kiai sebagai tokoh utamanya dan masjid sebagai pusat lembaganya.
Melacak asal-usul pesantren memang agak sulit. Tidak ada data yang jelas mengenai awal mula pesantren. Ada yang berpendapat bahwa pesantren pertama adalah Jan Tampes 2 di Pamekasan, Madura, yang didirikan pada tahun 1062. Tetapi, anggapan ini jelas saja sedikit ngawur. Jika begitu, berarti ada Jan Tampes 1, dan itu pasti lebih dahulu keberadaannya.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Raden Rahmat (Sunan Ampel) adalah pendiri pesantren yang pertama kali yaitu di Ngampel Denta, Surabaya. Awalnya, Sunan Ampel mendirikan masjid dan asrama sebagai tempat ia mengajarkan ilmu kepada beberapa murid. Dari asrama inilah akhirnya berkembang menjadi pondok pesantren.
Pendapat di atas dibantah lagi, setidaknya oleh Aminoto Sa’doellah. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, sebelum Islam masuk pulau Jawa, sudah muncul banyak padepokan yang mirip pesantren, yang dijadikan tempat berkumpulnya rakyat (kawula) menimba ilmu dari para begawan dan resi.
Kedua, mengutip CC Berg, pesantren yang berasal dari kata santri berasal dari bahasa Sanskerta “shastri” yang artinya “orang yang tahu kitab suci”. Hal ini artinya, sebelum Raden Rahmat masuk ke Pulau Jawa, sudah ada para begawan yang menjadi maha guru kala itu.
Ketiga, kata “santri” juga bisa berasal dari kata “cantrik”, yang artinya orang yang menima ilmu dengan mengabdi pada begawan dan resi. Hal ini pula menunjukkan bahwa tradisi pesantren telah ada sebelum masa Raden Rahmat.
Terlepas dari berbagai pendapat di atas, yang jelas, perkembangan pesantren di Indonesia sangat baik. Ratusan pesantren telah berdiri dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Setiap wilayah di Indonesia, hampir bisa ditemukan adanya pesantren. Corak dan gaya pendidikannya pun makin modern.
Salah satu pesantren yang menerapkan sarana modern adalah Pesantren Mahasiswa (Pesma) Al-Hikam, Malang. Bahkan, Al-Hikam adalah pesantren yang pertama kali menerapkan Warung Informasi dan Teknologi (Warintek) di lingkungan pesantren, yang peresmiannya dilakukan oleh Menristek Prof Dr Kusmayanto Kadiman.
Sedang, pesantren Darussalam, Ciamis adalah pesantren pertama kali yang memiliki MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus). Madrasah ini merupakan pogram Departemen Agama untuk mencetak kader-kader yang tidak saja mampu menguasai bidang ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu umum. Masih banyak lagi pesantren-pesantren di Indonesia yang memiliki kekhususan tertentu. Misalnya, pesantren Gontor yang terkenal dengan kemampuan santrinya dalam bahasa Arab dan Inggris. Sebab, setiap hari santri diharuskan berbicara dengan kedua bahasa tersebut.
Pesantren, yang di Minangkabau disebut surau, di Madura disebut penyantren, di Jawa Barat disebut pondok, dan di Aceh dikenal sebagai rangkang, paling tidak mempunyai tujuh ciri penting yang sekaligus merupakan elemen dasarnya, yaitu:
Pertama, pondok. Ia merupakan asrama khusus yang sederhana, tempat tinggal para santri, terutama santri mukim dan santri kelana. Biasanya bangunan ini terdiri dari bilik-bilik atau petakan-petakan yang didirikan di dalam komplek pesantren itu sendiri.
Kedua, masjid. Ia adalah tempat melangsungkan aneka kegiatan, baik yang bersifat keagamaan maupun yang sifatnya umum: pengajaran, pendidikan, tempat pertemuan, aktivitas budaya dan administrasi, latihan pidato, mengaji al-Qur’an, dan sebagainya. Jadi, masjid bukan untuk shalat belaka.
Ketiga, pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau kitab kuning. Tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon ulama yang memahami dan menguasai benar ilmu-ilmu keagamaan tradisional seperti tafsir, hadits, fiqh, nahwu sharaf, tauhid, tasawuf, tarikh Islam dan sebagainya.
Keempat, santri (murid). Santri ini bisa berasal dari daerah yang cukup jauh sehingga harus mondok atau menetap di asrama-asrama yang disediakan (santri mukim) maupun yang datang dari lingkungan sekitar pesantren itu sendiri yang biasanya tidak menetap di pondok melainkan hanya bolak-balik tiap hari belajar (santri kalong). Selain itu, ada lagi yang disebut santri kelana yang mencari ilmu dengan mengembara dan berguru dari satu kiai atau pesantren ke kiai atau pesantren lain.
Kelima, kiayi. Ia biasanya tokoh pendiri, sekaligus sebagai sumber atau pemegang kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan kehidupan pesantren. Ia dapat memberi bimbingan atau keputusan dalam berbagai hal, baik yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan, aktivitas sehari-hari, maupun yang sifatnya lebih kompleks.
Keenam, sistem pengajaran yang khas, ada dua yakni: sistem sorogan yang bersifat individual: santri menghadap kiai, seorang demi seorang, dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya, yang kemudian disodorkan kepada kiai. Lalu, si santri pun diajari dan dibimbing bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, atau lebih jauh lagi menerjemahkannya atau menafsirkannya. Semua itu dilakukan sementara santri menyimak penuh perhatian dan ngesahi (mensahkan) dengan memberi catatan pada kitabnya, atau mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kepadanya.
Lalu sistem weton (balaghan: metode kuliah) yang bersifat kolektif atau berkelompok dalam kelas-kelas. Yaitu kiai, di hadapan santri-santrinya yang memegang kitabnya masing-masing, membacakan kata per kata, kalimat demi kalimat, lalu menerjemahkannya, menerangkan demi kalimat, lalu menerjemahkannya, menerangkan arti atau menjelaskan maksudnya, sementara para santri hanya mengikuti, mendengar atau menyimak kitabnya sendiri-sendiri sembari mencatat atau menandai dengan kode tertentu pada kertas atau buku catatannya. Di Jawa Barat, metode ini disebut bandungan, atau bandongan (Jawa Tengah), atau halaqah (di Sumatra).
Ketujuh, tujuan utama pendidikannya yang lebih bersifat spiritual ketimbang material. Pak Kiayi melalui pesantrennya tidak pernah memasang tarif besar kepada para santrinya untuk belajar ilmu di sana. Sebab, tujuan pak kiayi bukanlah untuk mengeruk keuntungan semata-mata, tapi lebih dari itu, agar santrinya lebih pandai dalam masalah agama. Tujuan duniawi ditepikan oleh pak kiayi, dan lebih mengusung kepentingan akherat.
Demikian beberapa kriteria klasik bisa dikatakan pesantren. Seiring dengan perkembangan mutakhir, kriteria ini bisa saja berubah, misalnya: tidak ada pengajaran kitab kuning. Sebab, makin hari keberadaan kitab kuning kian langka. Seorang santri pun semakin malas mempelajari kitab kuning. Mereka lebih tertarik pada kitab non-kuning, yang sering disebut kitab putih. Meski begitu, kita berharap, pesantren dalam bentuk apapun akan tetap ada di Indonesia hingga kapanpun. Amien!
Melacak asal-usul pesantren memang agak sulit. Tidak ada data yang jelas mengenai awal mula pesantren. Ada yang berpendapat bahwa pesantren pertama adalah Jan Tampes 2 di Pamekasan, Madura, yang didirikan pada tahun 1062. Tetapi, anggapan ini jelas saja sedikit ngawur. Jika begitu, berarti ada Jan Tampes 1, dan itu pasti lebih dahulu keberadaannya.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Raden Rahmat (Sunan Ampel) adalah pendiri pesantren yang pertama kali yaitu di Ngampel Denta, Surabaya. Awalnya, Sunan Ampel mendirikan masjid dan asrama sebagai tempat ia mengajarkan ilmu kepada beberapa murid. Dari asrama inilah akhirnya berkembang menjadi pondok pesantren.
Pendapat di atas dibantah lagi, setidaknya oleh Aminoto Sa’doellah. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, sebelum Islam masuk pulau Jawa, sudah muncul banyak padepokan yang mirip pesantren, yang dijadikan tempat berkumpulnya rakyat (kawula) menimba ilmu dari para begawan dan resi.
Kedua, mengutip CC Berg, pesantren yang berasal dari kata santri berasal dari bahasa Sanskerta “shastri” yang artinya “orang yang tahu kitab suci”. Hal ini artinya, sebelum Raden Rahmat masuk ke Pulau Jawa, sudah ada para begawan yang menjadi maha guru kala itu.
Ketiga, kata “santri” juga bisa berasal dari kata “cantrik”, yang artinya orang yang menima ilmu dengan mengabdi pada begawan dan resi. Hal ini pula menunjukkan bahwa tradisi pesantren telah ada sebelum masa Raden Rahmat.
Terlepas dari berbagai pendapat di atas, yang jelas, perkembangan pesantren di Indonesia sangat baik. Ratusan pesantren telah berdiri dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Setiap wilayah di Indonesia, hampir bisa ditemukan adanya pesantren. Corak dan gaya pendidikannya pun makin modern.
Salah satu pesantren yang menerapkan sarana modern adalah Pesantren Mahasiswa (Pesma) Al-Hikam, Malang. Bahkan, Al-Hikam adalah pesantren yang pertama kali menerapkan Warung Informasi dan Teknologi (Warintek) di lingkungan pesantren, yang peresmiannya dilakukan oleh Menristek Prof Dr Kusmayanto Kadiman.
Sedang, pesantren Darussalam, Ciamis adalah pesantren pertama kali yang memiliki MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus). Madrasah ini merupakan pogram Departemen Agama untuk mencetak kader-kader yang tidak saja mampu menguasai bidang ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu umum. Masih banyak lagi pesantren-pesantren di Indonesia yang memiliki kekhususan tertentu. Misalnya, pesantren Gontor yang terkenal dengan kemampuan santrinya dalam bahasa Arab dan Inggris. Sebab, setiap hari santri diharuskan berbicara dengan kedua bahasa tersebut.
Pesantren, yang di Minangkabau disebut surau, di Madura disebut penyantren, di Jawa Barat disebut pondok, dan di Aceh dikenal sebagai rangkang, paling tidak mempunyai tujuh ciri penting yang sekaligus merupakan elemen dasarnya, yaitu:
Pertama, pondok. Ia merupakan asrama khusus yang sederhana, tempat tinggal para santri, terutama santri mukim dan santri kelana. Biasanya bangunan ini terdiri dari bilik-bilik atau petakan-petakan yang didirikan di dalam komplek pesantren itu sendiri.
Kedua, masjid. Ia adalah tempat melangsungkan aneka kegiatan, baik yang bersifat keagamaan maupun yang sifatnya umum: pengajaran, pendidikan, tempat pertemuan, aktivitas budaya dan administrasi, latihan pidato, mengaji al-Qur’an, dan sebagainya. Jadi, masjid bukan untuk shalat belaka.
Ketiga, pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau kitab kuning. Tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon ulama yang memahami dan menguasai benar ilmu-ilmu keagamaan tradisional seperti tafsir, hadits, fiqh, nahwu sharaf, tauhid, tasawuf, tarikh Islam dan sebagainya.
Keempat, santri (murid). Santri ini bisa berasal dari daerah yang cukup jauh sehingga harus mondok atau menetap di asrama-asrama yang disediakan (santri mukim) maupun yang datang dari lingkungan sekitar pesantren itu sendiri yang biasanya tidak menetap di pondok melainkan hanya bolak-balik tiap hari belajar (santri kalong). Selain itu, ada lagi yang disebut santri kelana yang mencari ilmu dengan mengembara dan berguru dari satu kiai atau pesantren ke kiai atau pesantren lain.
Kelima, kiayi. Ia biasanya tokoh pendiri, sekaligus sebagai sumber atau pemegang kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan kehidupan pesantren. Ia dapat memberi bimbingan atau keputusan dalam berbagai hal, baik yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan, aktivitas sehari-hari, maupun yang sifatnya lebih kompleks.
Keenam, sistem pengajaran yang khas, ada dua yakni: sistem sorogan yang bersifat individual: santri menghadap kiai, seorang demi seorang, dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya, yang kemudian disodorkan kepada kiai. Lalu, si santri pun diajari dan dibimbing bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, atau lebih jauh lagi menerjemahkannya atau menafsirkannya. Semua itu dilakukan sementara santri menyimak penuh perhatian dan ngesahi (mensahkan) dengan memberi catatan pada kitabnya, atau mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kepadanya.
Lalu sistem weton (balaghan: metode kuliah) yang bersifat kolektif atau berkelompok dalam kelas-kelas. Yaitu kiai, di hadapan santri-santrinya yang memegang kitabnya masing-masing, membacakan kata per kata, kalimat demi kalimat, lalu menerjemahkannya, menerangkan demi kalimat, lalu menerjemahkannya, menerangkan arti atau menjelaskan maksudnya, sementara para santri hanya mengikuti, mendengar atau menyimak kitabnya sendiri-sendiri sembari mencatat atau menandai dengan kode tertentu pada kertas atau buku catatannya. Di Jawa Barat, metode ini disebut bandungan, atau bandongan (Jawa Tengah), atau halaqah (di Sumatra).
Ketujuh, tujuan utama pendidikannya yang lebih bersifat spiritual ketimbang material. Pak Kiayi melalui pesantrennya tidak pernah memasang tarif besar kepada para santrinya untuk belajar ilmu di sana. Sebab, tujuan pak kiayi bukanlah untuk mengeruk keuntungan semata-mata, tapi lebih dari itu, agar santrinya lebih pandai dalam masalah agama. Tujuan duniawi ditepikan oleh pak kiayi, dan lebih mengusung kepentingan akherat.
Demikian beberapa kriteria klasik bisa dikatakan pesantren. Seiring dengan perkembangan mutakhir, kriteria ini bisa saja berubah, misalnya: tidak ada pengajaran kitab kuning. Sebab, makin hari keberadaan kitab kuning kian langka. Seorang santri pun semakin malas mempelajari kitab kuning. Mereka lebih tertarik pada kitab non-kuning, yang sering disebut kitab putih. Meski begitu, kita berharap, pesantren dalam bentuk apapun akan tetap ada di Indonesia hingga kapanpun. Amien!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar