Hijab atau satar sering diartikan sebagai penghalang, penutup atau terselubung. Dilihat dari makna dasar ini, maka apapun yang berfungsi sebagai penutup atau penghalang sesuatu disebut hijab. Misalnya, kain yang menutup meja makan bisa kita sebut sebagai hijab. Hijab juga bisa disematkan kepada cashing komputer, karena ia membungkus atau menutupi segala unsur yang dikandung di dalam komputer, dan sebagainya.
Tetapi, hijab yang dimaksudkan di sini adalah dalam kaitannya dengan pakaian yang menutup aurat kita, khususnya aurat perempuan. Pada beberapa negara berbahasa arab serta negara-negara barat, kata hijab lebih sering merujuk kepada kerudung yang digunakan oleh wanita muslim. Namun dalam keilmuan Islam, hijab lebih tepat merujuk kepada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama.
John L. Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, menulis bahwa karena sulitnya mendapatkan padanan tunggal dalam bahasa Arab dari hijab, maka hijab sering diidentikan dengan burqu’, ‘abayah, tharhah, burnus, jilbab dan milayah. Pakaian seperti ‘abayah Arab dan burnus Maghribi (Maroko) cenderung sangat mirip bagi laki-laki maupun perempuan (hal.153)
Sejarah
Sejarah
Hijab bukanlah tradisi asli orang Arab. Praktek menutup wajah (sebagian atau seluruh) ini merupakan warisan dari kerajaan Bizantium-Yunani, Sassaniyah Persia dan Mesopotamia kuno. Pada masa pra-Islam, di Arab barat daya sendiri, hijab ini hanya ditemukan di suku Banu Ismail dan Banu Qathan. Sementara di Mesir kuno, hijab mulai berkembang pada masa kerajaan Ramses II (dinasti ke-20).
Di Mesopotamia kuno, hijab merupakan sebuah simbol tentang kebaikan. Perempuan yang baik diharuskan memakai hijab saat menikah untuk membedakan dirinya dengan perempuan budak dan kotor. Jadi, perempuan yang mengenakan hijab merupakan suatu kebanggaan luar biasa, karena dikategorikan sebagai perempuan yang salehah.
Menurut hukum Asyiria, pelacur dan budak dilarang memakai hijab, dan mereka yang didapati secara sah mengenakannya dapat dihukum dengan berat. Jadi, hijab tidak saja untuk menandakan kebangsawanan melainkan juga membedakan perempuan “terhormat” dengan perempuan tercela.
Ketiga negara yang mempraktekkan hijab tersebut (Yunani, Persia dan Mesopotamia) kemudian sering terjadi kontak. Akibatnya, tradisi hijab ini menjadi kian berkembang pesat dan kemudian menyebar ke agama Kristen dan Yahudi. Dari sini lalu menyebar ke orang Arab kelas perkotaan dan akhirnya ke orang-orang kota umumnya.
Di Mesir abad pertengahan, tradisi hijab terjadi di kalangan kaum Yahudi Mesir. Saat itu, ditandai dengan pemisahan masuk kuil melalui pintu yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Di kalangan perkotaan Arab Islam sendiri, hijab mulai dipraktekkan secara luas di negara Turki. Saat itu hijab merupakan pertanda derajat dan gaya hidup yang eksklusif. Pada abad kesembilan belas, perempuan muslim dan Kristen kelas atas perkotaan di Mesir mengenakan habarah yang terdiri atas rok panjang, tutup kepala, dan burqu’, kain tipis empat persegi transparan berwarna putih yang dipakai di bawah mata, yang menutupi mulut, hidung bagian bawah, dan menjuntai hingga dada. Pada kesempatan berduka, dikenakan hijab tipis hitam yang disebut bisha.
Hijab yg Benar
Hijab yg Benar
Pada dasarnya, al-Qur’an tidak pernah menerangkan secara khusus arti hijab dalam kaitannya sebagai pakaian wanita Muslimah. Kata hijab yang disebut al-Qur’an, menunjuk pada pengertian lain di luar konteks berpakaian. Misalnya, QS. Ahzab [33]: 53 yang artinya, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan. Dan jika kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang hijab. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
Ayat di atas mengartikan hijab dalam konteks etika sosial, khususya etika bertamu antara para sahabat Nabi dengan istri-istri Nabi. Para sahabat yang hendak bertemu dengan para istri Nabi di dalam rumahnya, dianjurkan agar menggunakan hijab (pemisah). Jadi, hijab di sini tidak ada kaitannya sama sekali dengan konteks berpakaian.
Ayat lain, yaitu QS. Al-Syura [42]: 51, juga menjelaskan kata hijab dalam konteks lain. Meski kata hijab di dalam ayat ini dijelaskan dalam konteks yang nyaris sama dengan QS. Ahzab [33]: 53, yaitu pemisah atau dari balik tabir, tetapi kata hijab pada QS. Al-Syura ayat 51 ini diartikan lebih pada konteks etika pewahyuan. Maksudnya, bahwa Allah sekali-kali tidak akan berbicara dengan manusia (baca: Nabi) kecuali melalui pemisah (hijab) dan itu pun dalam kerangka pewahyuan.
Begitu juga kata hijab dalam QS. Al-A’raf [7]: 46, QS. Fushshilat [41]: 5, QS. Al-Isra [17]: 45 dan QS. Shad [38]: 32, diartikan dalam kerangka yang lain, bukan dalam konteks berpakaian.
Tafsiran tentang kata hijab di dalam al-Qur’an dalam kaitannya berpakaian Muslimah justru ditemukan pada ayat yang menceritakan tentang khimar (tutup kepala) atau jilbab. Ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
Tafsiran tentang kata hijab di dalam al-Qur’an dalam kaitannya berpakaian Muslimah justru ditemukan pada ayat yang menceritakan tentang khimar (tutup kepala) atau jilbab. Ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
Pertama, QS. Al-Nur [24]: 30-31 yang artinya, “Katankanlah kepada laki-laki beriman agar menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Dan katakanlah kepada perempuan beriman agar menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, serta tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya, dan menutupkan khimar ke dadanya, dan untuk tidak menampakknya perhiasannya kecuali kepada suaminya.”
Kedua, QS. Al-Ahzab [33]: 59 yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh rubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, agar mereka tidak diganggu.”
Terlepas dari tidak adanya ayat al-Qur’an yang menjelaskan secara khusus tentang hijab dalam konteks berpakaian Muslimah yang menutup aurat, yang jelas, bagi seorang wanita Muslimah yang hendak mengenakan hijab, hendaklah memperhatikan beberapa catatan dari Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Menurutnya, seorang wanita yang mengenakan hijab harus memenuhi syarat seperti: hijab itu harus menutup seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan tangan, bukan berfungsi sebagai perhiasan (tidak boleh berlebihan), tidak boleh tipis atau transparan, dan tidak boleh ketat. Jika syarat-syarat ini dipenuhi, maka hijab itu sudah dianggap benar. Semoga para wanita Muslimah berkenan memperhatikan hal ini! Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar