Kata hiwalah, huruf haa’ dibaca kasrah atau kadang-kadang dibaca fathah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab.
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri dalam al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, secara bahasa hiwalah adalah annaqlu min mahallin ilaa mahalli (pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain).
Sementara menurut syara’ (istilah), Hanafiyah mendefinisikan hiwalah dengan “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
Sedang menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hiwalah adalah “Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain”.
Kalau diperhatikan, maka kedua definisi di atas bisa dikatakan sama. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa madzhab Hanafi menekankan pada segi kewajiban membayar hutang. Sedangkan ketiga madzhab lainnya menekankan pada segi hak menerima pembayaran hutang.
Dalam Islam, hiwalah sangat dibolehkan. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.” (HR. Bukhari)
Sedangkan, dalil kaidah fiqih yang membolehkan hiwalah adalah “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat). Contoh: A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B berpiutang kepada C sebesar 5 dirham. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran hutang B kepada A.
Kedua, Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak). Contoh: A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A.
Hiwalah memiliki beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu adanya muhil (orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang), muhal (orang berpiutang kepada muhil), muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal), muhal bih (hutang muhil kepada muhal), dan sighat (ijab-qabul).
Sementara, untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut: pertama, relanya pihak muhil dan muhal (ridha) tanpa muhal 'alaih. Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah -kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
Ketiga, stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah. Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal 'alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil. (Epholic)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar