Tidak mustahil, pendakwah pertama di Nusantara adalah wanita. Kakeknya adalah pedagang dari Timur Tengah, diduga pernah membangun Masjid.
Nama lengkapnya adalah Fatimah binti Maimun Dewi Ratna Swari bin Hibatullah. Beliau lahir di Kedal, Malaka, Malaysia pada tahun 1064 dan merupakan puteri dari Raja Malaka bernama Sayyid Maimun Sultan Kedah Malaka (Malaysia) yang bergelar Sultan Mahmud Mahdad Alim (ada yang bilang Sultan Mahmud Syah Alam). Sedang ibunya bernama Dewi Aminah, yang berasal dari Aceh.
Ahli sejarah Cirebon abad ke 17, Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton, pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se-Nusantara menelusuri silsilah para syekh, guru agama dan sultan keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan ahli sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten. Penelitian itu menyimpulkan bahwa Fatimah pernah menikah dengan Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.
Menurut catatan sejarah, Fatimah wafat pada hari Jumat 12 Rabiulawal 475 Hijriyah/1082 Masehi pada usia yang masih belia, yaitu 18 tahun, setelah sempat berdakwah secara diam-diam, hampir 1 tahun lamanya. Karena saat itu, mayoritas masyarakat Jawa masih menganut agama Budha. Hasil penelitian sejarah ini sekaligus membantah anggapan, bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 15, saat keberadaan Wali Songo. Padahal, Fatimah wafat pada abad ke 11, jauh sebelum peran Wali Songo.
Nisan Fatimah bisa ditemukan di sebuah makam desa Leran, 8 km utara kota Gresik, Jawa Timur. Pada nisan ini, akan ditemukan bukti tertua kehadiran huruf Arab pada fase awal Islam di Nusantara. Penanggalan itu menunjukkan nisan di pusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara.
Inskripsi nisan Fatimah terdiri atas tujuh baris, ditulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, salah satu ragam kaligrafi, dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga memuat ayat Al-Qur'an, antara lain surat Al-Rahman ayat 28-27 dan surat Ali Imron ayat 185.
Makam Fatimah sendiri berada dalam sebuah cungkup berbentuk empat persegi panjang dengan atap berbentuk kerucut. Cungkup ini merupakan bangunan utama dan terbesar. Di dalam cungkup, dimakamkan pula empat orang yang merupakan pembantu Fatimah, yaitu Nyai Seruni, Putri Keling, Putri Kucing dan Putri Kamboja. Pada bangunan utama ini, juga terdapat sedikitnya 46 lubang ventilasi dengan garis lurus antar masing-masing lubang dinding.Selain makam dalam bangunan utama ini, terdapat tiga gugus makam lain tempat dimakamkannya tiga paman Fatimah, tiga panglima, dan dua penjaga. Panjang masing-masing makam mencapai sembilan meter dan dikenal dengan nama makam panjang. Panjangnya makam itu merupakan kiasan mengenai panjangnya rentang waktu yang dibutuhkan untuk menyebarkan agama Islam di Jawa. Cungkup makam Nyai Fatimah dan makam panjang adalah hal yang paling menarik dari makam ini.
Bersama nisan Fatimah, juga ada nisan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiulawal 822 H/8 April 1419 M. Hal ini mengukuhkan pendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Persia dan Gujarat. Ada juga sarjana yang mengatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.
Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, “Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan disebut Jabar, Jer dan Pes. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang.”
Pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkan-nya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang Putri Leran atau Putri Dewi Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.
Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara. Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur Tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah dengan wanita setempat, bahkan diduga sudah membangun masjid.
Apakah faktor kebetulan bila desa tempat Fatimah binti Maimun dimakamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama.
Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya “Leren”, suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf Pegon.
Dalam hal ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada abad ke-11 itu sudah ada lalu lintas dagang antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran.
Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi -untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa di sana.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Fatimah adalah orang Parsi yang menetap di Jawa (tepatnya di Gresik), lalu perkampungannya di sana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke-11 sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi.
Apakah juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana? Bersama nisan ulama Persia Maulana Malik Ibrahim, yang berangka tahun 882 H/1419 M, sedang Nisan Fatimah yang berangka 475 H/1082 M dilihat sebagai bukti bahwa pada waktu itu banyak orang Gresik yang telah menganut agama Islam. Bahkan sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam di tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka.
Bersama Tuban dan Jepara, pelabuhan Gresik sejak zaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) bertahta, telah terjalin hubungan dagang dengan negara-negara manca. Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke 9-10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah pesat.
Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang menyusuri utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam jurnalnya, “Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan Mullah, para ulama didatangkan dari Luar.”
Demikian kisah singkat tentang Fatimah Binti Maimun, seorang pendakwah wanita pertama di Jawa. Namanya memang tidak terlalu akrab di telinga orang, namun jasanya terhadap upaya penyebaran agama Islam di Jawa patut diapresiasi. Usahanya itu, kemudian mencapai puncak kejayaannya ketika datang Wali Songo, di mana agama Islam sudah hampir menyebar ke seluruh pula Jawa. (Epholic)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar