By Eep Khunaefi
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang
paling betakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
D
|
alam
terjemahan al-Qur’an yang disusun oleh Departemen Agama RI, kata sya'b diterjemahkan sebagai
"bangsa". Menurut Prof.
Dr. Quraish Shihab, kata ini hanya sekali ditemukan dalam
Al-Quran dan berbentuk plural. Sementara pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip oleh At-Tabarsi dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab,
sama dengan qabilah untuk
suku-suku Arab.
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Wawasan
Al-Qur’an, kata ini sebenarnya bermakna dua: cabang dan rumpun. Jadi,
kata sya’b tidak menunjukkan arti
bangsa sama sekali. Meski begitu, katanya, hal ini tidak lantas
menjadikan surat Al-Hujurat ayat 13 di atas tertolak sebagai argumentasi pandangan
kebangsaan yang direstui Al-Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar
menyatakan bahwa kata sya'b
sama dengan bangsa atau kebangsaan.
Dr. Wahbah
az-Zuhaili,
salah seorang faqih abad ini, dalam kitab tafsir beliau, memaparkan bahwa ayat
ini merupakan ayat yang menjelaskan persamaan kedudukan seluruh manusia, tak
ada keunggulan nasab (suku, bangsa, ras) salah seorang di antara mereka
dibandingkan yang lain, karena seluruh manusia berasal dari bapak dan ibu yang
sama. Beliau juga menjelaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan
nasab.
Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam menulis
bahwa setidaknya ada dua hal yang dapat kita tarik dari ayat di atas. Pertama, pada mulanya manusia itu satu,
yang menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah Tuhan, dan yang
mengukur kemuliaan ialah Tuhan. Jadi, ada lingkaran yang berawal dan berakhir
pada Tuhan, teosentrisme.
Kedua, manusia
secara objektif memang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Manusia itu secara
ontologis (berdasar kenyataan) memang makhluk sosial, sehingga mereka
berkelompok dalam bangsa dan suku. Dalam istilah “bangsa dan suku” mesti
dimasukkan agama, kelas, budaya, partai dan sebagainya. Dengan kata lain, Islam
mengajarkan untuk berpikir dan berperilaku objektif. Dari ayat ini jelas bahwa
filsafat sosial Islam, termasuk hukum, etika, ekonomi, dan politik adalah objektivisme teosentris.
Dalam
suatu riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan kisah Bilal bin Rabah. Saat peristiwa Futuh
Mekkah, bilal naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan azan. Melihat akan
hal ini, maka ada beberapa orang yang berkata: “Apakah pantas budak hitam macam
dia mengumandangkan azan di atas Ka’bah?” Maka berkatalah yang lainnya:
“Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat ini untuk menegaskan bahwa
di dalam Islam tidak ada diskriminasi. Orang yang paling mulia di sisi Allah
adalah orang yang paling takwa. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi Mulaikah)
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hindin yang oleh Rasulullah hendak
dikawinkan dengan seorang wanita Bayadhah. Bani Bayadhah berkata: “Wahai
Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada
budak-budak kami?” Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak
ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka. (HR. Ibnu Asakir dalam
Kitab Muhammat yang ditulis oleh Ibnu
Basykual dari Abu Bakar bin Abi Dawud dalam tafsirnya)
Menurut
Kunto, karena al-Qur’an menegaskan adanya kelompok dan solidaritas ini, maka eksistensi
keduanya merupakan Fithrah
(sunnatullah), yang tak akan berubah (QS. Yunus [10]: 64). Dan seperti
dikatakan oleh al-Qur’an, tujuan dari semuanya ini adalah ta’arruf, saling mengenal. Ta’arruf
berasal dari kata ‘arafa yang berarti
mengerti. Dari mengerti ini akan diharapkan seseorang bisa memaafkan orang
lain. Karena itu, dalam pepatah Perancis disebutkan tout comprendrer est tout pardonner, mengerti berarti memaafkan.
Menurut
Kunto, ta’arruf menjadi salah satu
prinsip dari demokrasi. Dalam suatu masyarakat demokratis, semua orang harus
mengerti kepentingan orang lain, sehingga hak-hak orang lain tidak dilanggar.
Menurutnya, setidaknya ada empat hal di mana ta’arruf bisa dilaksanakan. Pertama,
ta’arruf hanya bisa berjalan kalau
ada equality (persamaan). Persamaan
hak antara orang yang berkulit putih dan hitam, antara suku Jawa, Sunda,
Makassar, dan suku-suku lainnya di Indonesia maupun dunia, dan juga sama antara
laki-laki dan perempuan. Sebab, tujuan dari adanya ta’arruf ini adalah takwah seperti bunyi akhir ayat di atas. Karena
itu, ketakwaan tidak akan tercipta kalau dalam ta’arruf ini kita mengabaikan unsur kesamaan derajat di antara
kita.
Mahmud Syaltut, mantan Syekh
Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min
Tawjihat Al-Islam bahwa, "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan
perempuan hampir dapat (dikatakan)
sama. Allah telah
menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada
lelaki: potensi dan kemampuan
yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan menjadikan kedua jenis kelamin
ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas
yang bersifat umum maupun khusus. Karena
itu, hukum-hukum syariat
pun meletakkan keduanya dalam
satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual
dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan
dihukum, menuntut dan menyaksikan,
dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan."
Kedua, ta’arruf juga
menekankan pentingnya liberty
(kemerdekaan). Ketakwaan yang ingin kita capai dari ta’arruf ini tidak akan
berhasil kalau kita hidup dalam pengekangan, penjajahan, dan intimidasi. Karena
itu, perlunya kebebasan berekspresi yang terbatas (tidak sewenang-wenang),
adalah salah satu pilar penting agar nilai-nilai luhur dari ta’arruf ini tercapai.
Ketiga, ta’arruf juga berarti adanya komunikasi
dialogis. Tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Semua hal
diselenggarakan berdasar kepentingan pihak-pihak yang terkait, tidak monologis
oleh kelompok mayoritas yang dominan. Ada pengakuan bahwa kelompok lain juga
mempunyai kepentingan yang sama dan mungkin bertabrakan dengan kepentingan
sendiri. Penguasaan atas simbol-simbol sosial (kehormatan, kekuasaan, kekayaan)
dibagi bersama tanpa monopoli. Demikian pula kekuasaan dibatasi oleh kaidah ta’arruf. Dialog dapat mencegah
konfrontasi dan konflik antarwarga.
Terakhir
(keempat), ta’arruf
mempunyai asumsi negara hukum. Hukum positif yang diketahui bersama mencegah
pandangan tentang relativitas nilai-nilai. Kelompok-kelompok sosial dengan
latar belakang sejarah, kepentingan, dan tujuan berbeda menyebabkan perbedaan
pandangan. Sumber relativitas nilai itu dihilangkan oleh pandangan yang sama
yang dicerminkan dalam hukum positif yang secara objektif mengikat seluruh
warga. Pandangan anarkis (tidak percaya negara, pemerintah, dan hukum) tidak
ada tempat dalam negara hukum. Karena itu law
enforcement yang berupa polisi, alat penegak hukum, dan lembaga
pemasyarakatan diperlukan untuk menjaga supaya hukum itu berjalan.
Demikian
beberapa hal yang melandasi bagi terciptanya ta’arruf. Dengan beberapa prinsip ini, maka pantas jika ta’arruf menjadi salah satu dari pilar
demokrasi dan juga menjadi satu nilai yang sangat dianjurkan Islam untuk
melakukannya. Dan ketika semua itu tercapai, diharapkan manusia pun bisa
menjadi orang yang bertakwa, puncak terakhir dari tujuan adanya ta’arruf ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar