By Eep Khunaefi
Usai sekolah
dan menyingsingkan seragamnya, ia langsung ke warnet untuk bermain game online
S
|
ebut
saja namanya Andi. Anak SMA kelas 1 di sebuah SMK Muhammadiyah Bogor itu,
termasuk keranjingan game online. Usai sekolah ia langsung membuka laptop kakak
iparnya untuk kemudian mengaktifkan modem internet dan berselancar dengan game
online. Game yang disukainya biasanya BookwormAdventures,
Talismania atau TyperShark. Kadang juga ia bermain RF Online, Ayodance, DotA, Point Blank atau Audition.
Bagi Andi, game online atau game
lainnya, seperti garam dalam masakan. Tak ada garam, maka masakan jadi tidak
enak. Begitu juga bagi dirinya, tak ber-game ria hidup terasa tidak sempurna.
Jiwanya resah dan uring-uringan sepanjang hari. Kadang, saat laptop itu dibawa
kakak iparnya ke kantor, ia memaksakan diri pergi ke warnet (warung internet),
meski dengan uang seadanya.
Lain halnya dengan Dendi, dia sama
sekali tak suka game, apalagi game online. Kenal facebook atau twitter saja
tidak. Kedua orang tuanya memang melarangnya untuk bermain internet. Tidak ada
modem di rumahnya. Bagi Dendi, internet adalah “benda asing”, meski ia sendiri
bisa mengoperasikan windows atau microsoft word dan mengenal laptop.
Andi dan Dendi adalah dua sosok remaja
yang sedang berkembang dan menemukan jati dirinya. Andi berkembang dengan dunia
sosialnya sendiri, sementara Dendi dengan cara dan gayanya sendiri. Keduanya
tampak berbeda dan bertolak belakang. Yang satu, keranjingan game online,
sementara satunya lagi tidak suka sama sekali, bahkan tidak mengenalnya.
Tipikal manakah yang cocok untuk
remaja Islam masa kini dan masa depan? Dalam kasus pengenalan akan wawasan
dunia internet dan game, saya pikir apa yang dilakukan oleh Andi adalah baik.
Agar tidak ketinggalan dengan teman-temannya, ia bermain game online. Namun,
dari sisi psikologis, tentu saja tidak baik karena ia termasuk dalam kategori
keranjingan atau ketergantungan (adiktif).
Jika game hanya dijadikan sebagai sesuatu yang iseng saja dan sekali-kali saja
dimainkan mungkin akan berbeda ceritanya, tetapi ia sudah masuk dalam perangkap
game itu. Ia yang ditaklukkan oleh game, bukan ia yang menaklukkannya. Jadi,
untuk konsep remaja Islam yang ideal, tentu saja hal itu tidak baik.
Apa yang terjadi pada Andi ini persis seperti
yang dikatakan oleh Paul C Saettler dari California State
University, Sacramento, bahwa interaksi anak dan komputer yang bersifat satu
(orang) menghadap satu (mesin) mengakibatkan anak menjadi tidak cerdas secara
sosial. Begitu juga dengan Andi. Akibat ketergantungan pada game online, ia
menjadi tidak mudah bergaul, karena waktunya banyak dihabiskan di dalam rumah
atau ruangan warnet.
Tepat pula hasil riset Akio Mori, seorang professor dari Tokyo’s Nihon University, bahwa
ketergantunganpada video game atau game online dapat menurunkan aktivitas gelombang
otak depan yang memiliki peranan sangat penting, dengan pengendalian emosi dan
agresivitas sehingga mereka cepat mengalami perubahan mood, seperti
mudah marah, mengalami masalah dalam hubungan sosial, tidak konsentrasi, dan
lain sebagainya. Dan Andi seringkali tidur hingga larut malam (melebihi jam 12)
kalau sudah ber-game online, padahal besok paginya ia harus berangkat ke
sekolah; dan itu membuat konsentrasi di sekolahnya buruk.
Sebab lainnya, kata Akio Mori, dapat
mengakibatkan penurunan aktivitas gelombang beta. Dengan kata lain para gamer mengalami
autonomic nerves, yaitu tubuh
mengalami pengelabuan kondisi di mana sekresi adrenalin meningkat, sehingga
denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen terpacu untuk meningkat.
Bila tubuh dalam keadaan seperti ini maka yang terjadi pada gamer adalah
otak mereka merespon bahaya sesungguhnya.
Lalu,
bagaimana
dengan Dendi? Usahanya untuk menghindari “jebakan negatif” dari sebuah game
adalah baik. Apa yang dilakukannya oleh sang orang tua adalah sesuatu yang
positif. Tetapi, jika hal itu membuatnya tidak mengenal sama sekali dunia
internet, saya pikir sangat tidak bijak sekali. Sebab, dalam dunia sekarang,
kita tidak mungkin bisa lepas dari internet. Dan Dendi, adalah sosok remaja
yang tidak mengenal internet, apalagi game online. Jadi, apa yang dilakukannya
juga tidak cocok untuk tipikal remaja Islam yang ideal.
Lalu, bagaimana remaja Islam yang
ideal itu? Dalam kasus kedua anak di atas, saya pikir Andi harus mengurangi
kebiasaannya bermain game. Ia mulai merubah midnset-nya tentang game bahwa
permainan ini sejatinya hanya untuk melepas rasa penat atau boring dari
pelajaran sekolah. Sekedar tahu saja dan bermain sekedarnya, itu yang lebih
baik. Bukan kemudian menjadikan game itu seperti sebuah tiang bagi rumah atau
garam bagi masakan.
Bagi Dendi sendiri, saatnya ia mulai
mengenal internet meski tidak harus bermain game. Sebab, meski bagaimanapun,
internet tak bisa ditinggalkan. Agar tidak terjebak dalam hal-hal negatif
internet, bukan berarti kita harus meninggalkannya, tetapi harus sebisa mungkin
menaklukkannya. Inilah salah satu tugas tersulit bagi kedua orang tua manapun.
Game Islami
Bagaimana
kalau sang anak tidak bisa jauh dari game online karena sudah ketergantungan? Salah
satu jalan adalah arahkan atau beri pengertian pada anak kita untuk mengalihkan
game yang biasa ia lakukan kepada game yang bersifat Islami. Banyak sekali game Islami yang bisa
dimainkan oleh anak remaja kita, seperti Islamic (Wordsearch puzzle 1), Prophets in
Islam (Wordsearch puzzle), Islamic Coloring, Memory Game, Masjid Illustration (16 piece jigsaw puzzle),
Fix The Letter - Arabic Alphabet Puzzle, Arabic Alphabet Memory Game, islamic
jigsaw puzzle 25 piece, Islamic Wallpaper 2, Masjid Qubbat As-Sakhrah (9 piece
jigsaw puzzle), Islamic Quiz - General knowledge, Ramadan
Wordsearch puzzle, dan sebagainya.
Dengan memainkan
game Islami, maka anak remaja Anda akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus:
hobi main gamenya tersalurkan, tapi juga ilmu pengetahuan agamanya akan ia
dapatkan. Sekali mendayung dua pulau terlampaui. Meski begitu, orang tua tetap
harus bijak sehingga sang anak tidak perlu menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk bermain game Islami ini. Sebab, ada hal lain yang lebih utama dilakukan
oleh anak remaja kita, yaitu membantu pekerjaan kedua orang tuanya di rumah,
seperti menyapu, mengepel, atau mencuci piring. Atau juga, mengerjakan
pekerjaan sekolah (PR) dan mengulang-ulang pelajaran yang didapatkannya dari
guru. Dengan begitu, sang anak tidak kuper
(kurang pergaulan), tetapi juga tetap berprestasi di kelas.
Untuk lebih
jelasnya, Abdu Aziz Fauzan memberikan cara bagaimana mengatasi sang anak
kita dari kecanduan terhadap game online, yaitu:
Pertama, niat. Dalam mengatasi
kecanduan game online yang paling utama adalah niat yang kuat untuk mengurangi
bermain game online secara berlebihan. Karena dengan niat yang kuat secara
psikologis akan mempermudah dalam menghadapi hal tersebut.
Kedua, mencari kesibukan lain.
Mencari kesibukan lain yang positif terutama kebiasaan yang disukai, seperti
berolah raga, membaca buku atau berekreasi. Sehingga tidak ada waktu kosong
untuk bermain game online.
Ketiga, mengatur jadwal bermain game
online. Mengurangi waktu bermain dengan mulai menentukan jam dan hari bermain
dan diusakan mematuhi jadwal tersebut. Untuk tahap awal, sehari bermain 3 jam
dan untuk hari-hari berikutnya dikurangi sedikit demi sedikit.
Keempat, menghitung jumlah uang yang
dikeluarkan. Dengan menghitung banyaknya uangnya yang dikeluarkan untuk bermain
game online di warnet akan membuat seseorang lebih berpikir untuk tidak
menghabiskan uangnya demi game online.
Kelima, meminta bantuan teman.
Meminta orang terdekat untuk sementara menjadi pengingat setiap kali hendak ke
warnet atau ingin bermain game. Akan sangat menarik apabila dia bukan seorang
gamers juga.
Demikian beberapa
cara agar anak kita tidak kecanduan game online. Kalaupun, harus terpaksa juga
bermain game, maka arahkan sang anak pada game-game yang membuat dia memiliki
tambahan ilmu agama.
Eep
K. Yasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar