Foto: yayansupriyatna.blogspot.com |
By Epholic
D
|
i sebuah Mushola, kami
berbincang-bincang dengan seorang ustadz muda. Masih usia 30-an tahun, tapi ia
sangat istiqamah dalam beribadah. Setiap hari bangun jam 03 malam untuk shalat
tahajjud. Dia pun banyak mendapatkan berkah dan karamah karena kelebihannya
ini.
Tetapi, saya sedang tidak
membicarakan kelebihan dan karamahnya itu. Saya tergelitik dengan komentarnya
saat mendengar pengaduan seseorang bahwa ada ustadz di seberang sana yang
melarang tahlil dan doa buat arwah. “Doa kepada orang yang sudah mati tidak
nyampai,” katanya.
Ustadz itu menjawab, “Kalau
pengen tahu nyampai atau gak, dia harus mati dulu.”
Saya terkejut mendengar jawaban
sang ustadz. Terus terang, saya baru kali itu mendengar jawaban demikian saat
ada seseorang melarang tahlil dan doa kirim arwah dan sebagainya. Selama ini,
selalu ayat al-Qur’an atau Hadits yang saya dengar. Saya tidak perlu
menjelaskan di sini bunyi ayat-ayatnya atau haditsnya. Sebab, terlalu panjang
untuk ditulis.
Tampaknya, ustadz itu menjawab
demikian untuk menghindari polemik yang tak berkesudahan soal tahlil dan kirim
doa buat arwah. Saya pikir jawabannya logis juga. Kalau orang itu tidak percaya
bahwa doa kepada arwah itu tidak nyampai, ya cobalah ia mati dulu. Kalau sudah
merasakannya, maka bisa balik lagi ke dunia. Tetapi, saya pikir ini sangat
mustahil. Sebab, orang tidak mungkin coba-coba untuk mati dulu untuk
mendapatkan kebenaran agama.
Maka, saya pun pamit pulang
karena ada banyak kerjaan di rumah. Saya harus mengetik, sebab deadline sedang di depan mata. Saya pun
berdiri dan ustadz muda itu pun mengikuti. Saya mematikan lampu dan ia pun
melakukan hal yang sama. Tetapi, saat saya keluar dari pintu sebelah kiri
mushola, ia malah kembali lagi ke dalam.
“Saya mau dzikir dulu
sebentar,” ujarnya.
“Lha, kenapa tadi ikut bangun
dan mesti dimatiin segala lampunya,” bisik saya dalam hati.
Mungkin ustadz muda itu juga
sedang mengatakan “Mati Dulu” untuk sang listrik. Biarkan ia menyelami
keagungan-Mu dulu dalam lembah dzikir. Biarkan kegelapan itu mengusap tubuhnya
agar percikan-percikan berkah-Mu dapat ia rasakan.
Begitulah yang ia lakukan saban
hari. Setiap kali shalat Isya berjamaah di mushola dan kebetulan kami bertemu,
kami pun lanjutkan dengan obrolan. Lalu, saya pergi dan dia kembali melakukan aktivitasnya
di mushola: berdzikir dan tadzkirah. Sosok ustadz muda, yang meski belum tua
tetapi telah menemukan sebuah inti kehidupan Ilahiyah. Saya yang lebih tua
darinya pun, terus belajar kepadanya bagaimana agar bisa istiqamah. Berkah
buatnya, ya Allah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar