By Eep Khunaefi
Setelah
menghajikan ayah, dia pun bisa menikah
I
|
ni sebuah
kisah tentang bakti anak pada kedua orang tuanya. Anggap saja sebagai sedekah
anak kepada ayahnya yang ingin naik haji. Sebut saja namanya Bapak Yakub Usuli,
orang Gorontalo. Dia masih lajang saat itu, usianya sekitar 32 tahun. Sebagai
anak muda hidupnya cukup sukses. Terbukti, ia bisa mengumpulkan uang sebanyak
30 juta. Rencananya, uang ini ia persiapkan untuk menikah kelak –kalau sudah
ada jodohnya. Atau, ia niatkan untuk berangkat ibadah haji.
Namun,
entahlah, hal apa yang merasuk ke dalam pikiran Yakub saat itu. Yang jelas,
saat melihat usia ayahnya yang sudah sepuh (71 th) tiba-tiba saja niatnya
berubah. Ada sebuah niat yang sangat mulia dalam pikirannya ingin membahagiakan
sang ayah di usia senjanya. Apa itu? Ia ingin memberangkatkan ayah ke tanah
suci. Ini benar-benar sebuah niat yang sangat mulia.
Kebetulan
Yakub punya uang 30 juta, maka niat itu pun ia sampaikan kepada sang ayah.
Betapa bahagianya sang ayah, karena ia akhirnya bisa naik haji dengan jeri
payah sang anak. Sang ayah menangis. Bagi Yakub, inilah sebuah bentuk rasa
baktinya pada sang ayah. Ia rela mengorbankan dirinya sendiri. Ia rela
mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Padahal, uang itu rencananya untuk
persiapan nikahnya kelak atau rencananya untuk ibadah haji. Tetapi, ia
mendahulukan sang ayah dulu untuk bisa pergi haji. Sebuah bakti seorang anak
yang luar biasa!
Tahun
2006 sang ayah akhirnya berangkat ke tanah suci. Bagi Yakub sendiri,
keberangkatan ayah ke tanah suci menyiratkan kebahagiaan tersendiri di dalam
benaknya. Ayah yang sering sakit-sakitan sebelum berangkat ke tanah suci sempat
menjadi kekhawatiran sendiri buat Yakub dan keluarganya yang lain. Tetapi,
berkat niat yang tulus ingin beribadah haji, maka sang ayah tetap memaksakan
diri juga berangkat.
Tidak
terasa sudah 20 hari di tanah suci. Yakub terpikir ingin menelpon sang ayah
melalui sang pembimbing ibadah hajinya. Ketika itulah sang pembimbing ibadah
haji mengabarkan bahwa keadaan ayahnya baik-baik saja, bahkan terlihat lebih
sehat dibandingkan sebelum berangkat. Semua ini merupakan berkah dari Allah
SWT. Namun, di tengah-tengah telponnya, tiba-tiba sang pembimbing ibadah haji
berceletuk soal ibunya yang disayangkan tidak bisa ikut bersama sang ayah.
Ucapan ini bagai menusuk hati Yakub kala itu. Dia berpikir “iya juga”. Yakub
sempat bergetar hatinya. Dia memang telah menghajikan sang ayah, tetapi kenapa
juga tidak sekalian memberangkatkan ibunya. Kalau mereka berdua berangkat
bareng, mungkin akan kelihatan lebih enak.
Tapi,
sudahlah, mudah-mudahan tahun depan giliran sang ibu yang bisa berangkat ke
tanah suci. Waktu terus berjalan dan tidak terasa ayah sudah menghabiskan masa
hajinya di tanah suci. Kepulangannya ke tanah air pun disambut gembira oleh
Yakub dan keluarganya. Apalagi setelah diberitakan bahwa keadaan ayah yang
baik-baik saja, melebihi keadaannya sebelum berangkat. Sekali lagi, ini berkah
ibadah haji.
Tetapi,
tentu saja, kisah ini sedang tidak memberitakan kisah hajinya ayah Yakub. Tapi,
lebih mengisahkan hikmah di balik dari niat baik Yakub ketika menghajikan sang
ayah. Rupanya, saat itu Yakub belum dapat jodoh. Dengan kata lain, meski ia
memiliki uang 30 juta untuk persiapan nikah, tetapi sebenarnya jodohnya belum
ada. Maka, berkah sedekah 30 juta kepada ayahnya untuk ongkos haji, Allah
memberikan balasan setimpal kepada Yakub. Ia mendapatkan jodoh dengan seorang
adik dari teman sang ayah yang naik haji satu kloter. Seandainya saja ayah
tidak berangkat haji. Ini kita bicara seandainya. Mungkin Yakub tidak akan
ketemu jodohnya. Namun, seizin Allah, berkah sedekah 30 juta ia langsung
mendapatkan jodohnya. Sebab, kata ayah, di tanah suci ayahnya kerapkali
mendoakan Yakub agar cepat dapat jodoh. Ternyata jodoh itu tidak jauh dari
sisinya, yaitu adik dari teman sang ayah sendiri saat naik haji.
Bulan
Juni 2007 Yakub menikah. “Alhamdulillah
atas izin Allah pada bulan Juni 2007 saya menikah dengan adik teman ayah satu
kloter,” tulisnya dalam secarik kertas yang dikirimkan kepada Hidayah. Setelah menikah rupanya rejeki
Yakub terus mengalir. Berkah sedekah yang ia berikan kepada sang ayah rupanya
tidak menghentikan rejekinya dari Allah. Di akhir tahun 2007 ia dan
kakak-kakaknya patungan untuk memberangkatkan sang ibu ke tanah suci lagi.
Subhanallah! Ini benar-benar sebuah niat baik seorang anak kepada kedua orang
tuanya. Bersama sang ibu, kakak Yakub pun ikut berangkat haji juga sekaligus
sebagai pembimbingnya. Lengkaplah sudah kebahagiaan Yakub karena bisa
memberangkatkan kedua orang tuanya ke tanah suci.
Bagaimana
dengan dia sendiri? Yakub tetap punya keinginan bisa menyusul kedua orang
tuanya ke tanah suci. Tetapi, ia tidak memaksakan dirinya. Sebab, bersamanya
sudah ada istri yang harus ia hidupi. Karena itu, sambil jalan ia terus berdoa
dan bekerja keras. Seizin Allah, dua tahun kemudian (2009) ibu mertuanya
berangkat ke tanah suci. Kakak Yakub ikut menemani ibu mertuanya sekaligus sebagai
pembimbing ibadah haji di sana.
Waktu
terus berjalan. Dua tahun kemudian (2011), Yakub dan istrinya pun akhirnya bisa
berangkat ke tanah suci. Ia pun mengucap syukur, akhirnya niatnya bisa melihat
Kabah al-Mukarramah bisa terkabulkan juga. Semua itu, diakuinya, karena berkah
sedekah beberapa tahun yang lalu, saat ia menghajikan ayah dan ibunya. Jika
saja saat itu ia egois dengan mendahulukan kepentingannya sendiri alias menahan
uangnya yang 30 juta untuk kepentingan nikahnya kelak, mungkin nasibnya tidak
akan seperti ini. Bisa jadi, saat itu ia akan gagal semuanya. Ayahnya tidak
jadi haji, begitu juga dengan ibunya. Bahkan, bisa pula ia sendiri tidak jadi
menikah. Sebab, wasilah (melalui)
haji ayahnya, Yakub akhirnya bisa menikah. Karena ia dipertemukan dengan wanita
yang tidak lain merupakan adik dari teman sang ayah saat naik haji.
Kisah
ini juga memperlihatkan kepada kita betapa cinta yang tulus seorang anak kepada
kedua orang tuanya itu akan berbuah manis buat dirinya. Karena itu, dahulukan
kepentingan kedua orang tua di atas kepentingan diri kita sendiri. Mumpung
mereka masih hidup, baktikan seluruh hidup kita. Sebab, kita bisa seperti ini
tidak lain karena keberadaan mereka. Sejak dalam buaian, sang ibu khusunya,
begitu ikhlas merawat kita hingga kita besar dan sekolah ke perguruan tinggi.
Karena itu, cinta dan bakti kepada kedua orang tua itu tidak harus pakai syarat
kecuali satu: apabila kedua orang tua kita mengajak kita kepada kemusyrikan.
Selan itu, kita harus menurutinya.
Karena
itu, apa yang dilakukan oleh Yakub terhadap ayahnya, adalah suatu hal yang luar
biasa. Seorang anak bujang pasti akan berpikir 100 x ketika mengeluarkan uang
tabungannya sebesar 30 juta untuk menghajikan sang ayah. Kita paling bisa
membantu setengahnya atau hanya 5 juta sekedar untuk pelengkap kepergiannya.
Tetapi, Yakub menyerahkan seluruh hartanya yang ada di tabungan untuk
kepentingan sang ayah. Sebuah kepentingan yang akhirnya bisa mengantarkan sang
ayah untuk bisa melihat Ka’bah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.
Yang
lebih hebat lagi, Yakub membantunya tidak cukup sampai di situ. Merasa ia tidak
adil berbuat kepada sang ibu, akhirnya ia dan kakak-kakak yang lainnya ikut
menghajikan ibu juga. Maka keberkahan pun datang siling berganti menghampiri
Yakub. Melalui sedekah 30 juta itu, ia bisa menikah. Ia pula akhirnya bisa
menghajikan ibunya juga. Bahkan, dalam relatif cepat, ia juga bisa berangkat
haji bersama istrinya. Sebuah jalan yang begitu mudah telah digariskan oleh
Allah karena kebaikannya kepada kedua orang tua. Karena itu, kalau kita ingin
lancar segala sesuatunya, maka rajinlah bersedekah, apalagi terhadap kedua
orang tua kita sendiri. Titik.
Eep Khunaefi
1 komentar:
Salam, dari masih bujangan saya sangat berniat menghajikan kedua orang tua saya, tapi saya tetap tidak mampu sampai beliau berdua berangkat dengan uang mereka sendiri. Sekarang karna kedua orang tua saya sudah haji, saya sedang bernadzar apabila mampu saya akan menghajikan kedua mertua saya, mohon doanya, terima kasih...
Posting Komentar