Kamis, 31 Mei 2012

BERKAH MENGHAJIKAN KEDUA ORANG TUA


By Eep Khunaefi

Setelah menghajikan ayah, dia pun bisa menikah

I
ni sebuah kisah tentang bakti anak pada kedua orang tuanya. Anggap saja sebagai sedekah anak kepada ayahnya yang ingin naik haji. Sebut saja namanya Bapak Yakub Usuli, orang Gorontalo. Dia masih lajang saat itu, usianya sekitar 32 tahun. Sebagai anak muda hidupnya cukup sukses. Terbukti, ia bisa mengumpulkan uang sebanyak 30 juta. Rencananya, uang ini ia persiapkan untuk menikah kelak –kalau sudah ada jodohnya. Atau, ia niatkan untuk berangkat ibadah haji.
Namun, entahlah, hal apa yang merasuk ke dalam pikiran Yakub saat itu. Yang jelas, saat melihat usia ayahnya yang sudah sepuh (71 th) tiba-tiba saja niatnya berubah. Ada sebuah niat yang sangat mulia dalam pikirannya ingin membahagiakan sang ayah di usia senjanya. Apa itu? Ia ingin memberangkatkan ayah ke tanah suci. Ini benar-benar sebuah niat yang sangat mulia.
Kebetulan Yakub punya uang 30 juta, maka niat itu pun ia sampaikan kepada sang ayah. Betapa bahagianya sang ayah, karena ia akhirnya bisa naik haji dengan jeri payah sang anak. Sang ayah menangis. Bagi Yakub, inilah sebuah bentuk rasa baktinya pada sang ayah. Ia rela mengorbankan dirinya sendiri. Ia rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Padahal, uang itu rencananya untuk persiapan nikahnya kelak atau rencananya untuk ibadah haji. Tetapi, ia mendahulukan sang ayah dulu untuk bisa pergi haji. Sebuah bakti seorang anak yang luar biasa!
Tahun 2006 sang ayah akhirnya berangkat ke tanah suci. Bagi Yakub sendiri, keberangkatan ayah ke tanah suci menyiratkan kebahagiaan tersendiri di dalam benaknya. Ayah yang sering sakit-sakitan sebelum berangkat ke tanah suci sempat menjadi kekhawatiran sendiri buat Yakub dan keluarganya yang lain. Tetapi, berkat niat yang tulus ingin beribadah haji, maka sang ayah tetap memaksakan diri juga berangkat.
Tidak terasa sudah 20 hari di tanah suci. Yakub terpikir ingin menelpon sang ayah melalui sang pembimbing ibadah hajinya. Ketika itulah sang pembimbing ibadah haji mengabarkan bahwa keadaan ayahnya baik-baik saja, bahkan terlihat lebih sehat dibandingkan sebelum berangkat. Semua ini merupakan berkah dari Allah SWT. Namun, di tengah-tengah telponnya, tiba-tiba sang pembimbing ibadah haji berceletuk soal ibunya yang disayangkan tidak bisa ikut bersama sang ayah. Ucapan ini bagai menusuk hati Yakub kala itu. Dia berpikir “iya juga”. Yakub sempat bergetar hatinya. Dia memang telah menghajikan sang ayah, tetapi kenapa juga tidak sekalian memberangkatkan ibunya. Kalau mereka berdua berangkat bareng, mungkin akan kelihatan lebih enak.
Tapi, sudahlah, mudah-mudahan tahun depan giliran sang ibu yang bisa berangkat ke tanah suci. Waktu terus berjalan dan tidak terasa ayah sudah menghabiskan masa hajinya di tanah suci. Kepulangannya ke tanah air pun disambut gembira oleh Yakub dan keluarganya. Apalagi setelah diberitakan bahwa keadaan ayah yang baik-baik saja, melebihi keadaannya sebelum berangkat. Sekali lagi, ini berkah ibadah haji.
Tetapi, tentu saja, kisah ini sedang tidak memberitakan kisah hajinya ayah Yakub. Tapi, lebih mengisahkan hikmah di balik dari niat baik Yakub ketika menghajikan sang ayah. Rupanya, saat itu Yakub belum dapat jodoh. Dengan kata lain, meski ia memiliki uang 30 juta untuk persiapan nikah, tetapi sebenarnya jodohnya belum ada. Maka, berkah sedekah 30 juta kepada ayahnya untuk ongkos haji, Allah memberikan balasan setimpal kepada Yakub. Ia mendapatkan jodoh dengan seorang adik dari teman sang ayah yang naik haji satu kloter. Seandainya saja ayah tidak berangkat haji. Ini kita bicara seandainya. Mungkin Yakub tidak akan ketemu jodohnya. Namun, seizin Allah, berkah sedekah 30 juta ia langsung mendapatkan jodohnya. Sebab, kata ayah, di tanah suci ayahnya kerapkali mendoakan Yakub agar cepat dapat jodoh. Ternyata jodoh itu tidak jauh dari sisinya, yaitu adik dari teman sang ayah sendiri saat naik haji.
Bulan Juni 2007 Yakub menikah. “Alhamdulillah atas izin Allah pada bulan Juni 2007 saya menikah dengan adik teman ayah satu kloter,” tulisnya dalam secarik kertas yang dikirimkan kepada Hidayah. Setelah menikah rupanya rejeki Yakub terus mengalir. Berkah sedekah yang ia berikan kepada sang ayah rupanya tidak menghentikan rejekinya dari Allah. Di akhir tahun 2007 ia dan kakak-kakaknya patungan untuk memberangkatkan sang ibu ke tanah suci lagi. Subhanallah! Ini benar-benar sebuah niat baik seorang anak kepada kedua orang tuanya. Bersama sang ibu, kakak Yakub pun ikut berangkat haji juga sekaligus sebagai pembimbingnya. Lengkaplah sudah kebahagiaan Yakub karena bisa memberangkatkan kedua orang tuanya ke tanah suci.
Bagaimana dengan dia sendiri? Yakub tetap punya keinginan bisa menyusul kedua orang tuanya ke tanah suci. Tetapi, ia tidak memaksakan dirinya. Sebab, bersamanya sudah ada istri yang harus ia hidupi. Karena itu, sambil jalan ia terus berdoa dan bekerja keras. Seizin Allah, dua tahun kemudian (2009) ibu mertuanya berangkat ke tanah suci. Kakak Yakub ikut menemani ibu mertuanya sekaligus sebagai pembimbing ibadah haji di sana.
Waktu terus berjalan. Dua tahun kemudian (2011), Yakub dan istrinya pun akhirnya bisa berangkat ke tanah suci. Ia pun mengucap syukur, akhirnya niatnya bisa melihat Kabah al-Mukarramah bisa terkabulkan juga. Semua itu, diakuinya, karena berkah sedekah beberapa tahun yang lalu, saat ia menghajikan ayah dan ibunya. Jika saja saat itu ia egois dengan mendahulukan kepentingannya sendiri alias menahan uangnya yang 30 juta untuk kepentingan nikahnya kelak, mungkin nasibnya tidak akan seperti ini. Bisa jadi, saat itu ia akan gagal semuanya. Ayahnya tidak jadi haji, begitu juga dengan ibunya. Bahkan, bisa pula ia sendiri tidak jadi menikah. Sebab, wasilah (melalui) haji ayahnya, Yakub akhirnya bisa menikah. Karena ia dipertemukan dengan wanita yang tidak lain merupakan adik dari teman sang ayah saat naik haji.
Kisah ini juga memperlihatkan kepada kita betapa cinta yang tulus seorang anak kepada kedua orang tuanya itu akan berbuah manis buat dirinya. Karena itu, dahulukan kepentingan kedua orang tua di atas kepentingan diri kita sendiri. Mumpung mereka masih hidup, baktikan seluruh hidup kita. Sebab, kita bisa seperti ini tidak lain karena keberadaan mereka. Sejak dalam buaian, sang ibu khusunya, begitu ikhlas merawat kita hingga kita besar dan sekolah ke perguruan tinggi. Karena itu, cinta dan bakti kepada kedua orang tua itu tidak harus pakai syarat kecuali satu: apabila kedua orang tua kita mengajak kita kepada kemusyrikan. Selan itu, kita harus menurutinya.
Karena itu, apa yang dilakukan oleh Yakub terhadap ayahnya, adalah suatu hal yang luar biasa. Seorang anak bujang pasti akan berpikir 100 x ketika mengeluarkan uang tabungannya sebesar 30 juta untuk menghajikan sang ayah. Kita paling bisa membantu setengahnya atau hanya 5 juta sekedar untuk pelengkap kepergiannya. Tetapi, Yakub menyerahkan seluruh hartanya yang ada di tabungan untuk kepentingan sang ayah. Sebuah kepentingan yang akhirnya bisa mengantarkan sang ayah untuk bisa melihat Ka’bah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.
Yang lebih hebat lagi, Yakub membantunya tidak cukup sampai di situ. Merasa ia tidak adil berbuat kepada sang ibu, akhirnya ia dan kakak-kakak yang lainnya ikut menghajikan ibu juga. Maka keberkahan pun datang siling berganti menghampiri Yakub. Melalui sedekah 30 juta itu, ia bisa menikah. Ia pula akhirnya bisa menghajikan ibunya juga. Bahkan, dalam relatif cepat, ia juga bisa berangkat haji bersama istrinya. Sebuah jalan yang begitu mudah telah digariskan oleh Allah karena kebaikannya kepada kedua orang tua. Karena itu, kalau kita ingin lancar segala sesuatunya, maka rajinlah bersedekah, apalagi terhadap kedua orang tua kita sendiri. Titik.

Eep Khunaefi



1 komentar:

tomo mengatakan...

Salam, dari masih bujangan saya sangat berniat menghajikan kedua orang tua saya, tapi saya tetap tidak mampu sampai beliau berdua berangkat dengan uang mereka sendiri. Sekarang karna kedua orang tua saya sudah haji, saya sedang bernadzar apabila mampu saya akan menghajikan kedua mertua saya, mohon doanya, terima kasih...