Jumat, 12 Agustus 2011

KGS ABU BAKAR HAMID (64 TH), “3 Bulan di Kapal, di Tengah Terjangan Peluru”


Dibanding zaman sekarang, orang dahulu penuh susah payah untuk bisa berangkat haji. Sebab, dulu masih pakai kapal laut sehingga harus berbulan-bulan berada di tengah laut. Belum lagi, berbagai aral yang menghadang, seperti yang dialami oleh bapak yang satu ini.

Sebut saja namanya Kgs Abu Bakar Hamid. Namanya mengingatkan kita pada Khalifah Islam yang pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Tapi, dia hanyalah orang biasa, bukan pejabat atau anak keturunan darah biru. Profesinya hanyalah seorang petani kelapa yang diolahnya menjadi kopra. Namun, jangan salah, dia memiliki beberapa anak buah yang membantu pekerjaannya itu.
Sebagai seorang petani kepala, sebenarnya usia Abu Bakar saat itu masih terlalu muda, yaitu anak SMA. Namun, jiwa petani yang ditanamkan orang tua sejak kecil ikut menenggelamkannya pada dunia perkebunan (tani-menani) tersebut. Dari hasil kebunnya ini, kehidupan Abu Bakar dan keluarganya pun cukup bahagia dan mapan. Maklum, pohon-pohon kelapanya sangat banyak dan berdiri di atas lahan puluhan hektar. Bisnis ini kepunyaan keluarganya.

Pada tahun 1960-an, Abu Bakar muda naik haji bersama abang dan keluarga yang lainnya. Tidak seperti sekarang yang harus menunggu lama, saat itu ia langsung berangkat beberapa saat setelah mendaftarkan hajinya. Maklum, belum banyak orang yang naik haji dan transportasinya pun masih menggunakan kapal laut.
Jiwanya masih muda saat itu dan sejatinya ia sedang senang-senangnya bermain dengan teman sesama. Namun, saat dipastikan dirinya diajak oleh sang abang berangkat ke tanah suci, ia pun merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Ia bisa jalan-jalan ke luar negeri, apalagi tujuannya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Tidak itu saja, Ka'bah yang selama ini hanya bisa dilihatnya lewat gambar-gambar yang menempel di dinding, sebentar lagi akan bisa dilihatnya secara langsung. Bahkan, jika diizinkan Allah, ia akan bisa menyentuhnya. Menyentuh kain penutupnya (kelambu), setidaknya.
Haru dan bahagia menyelimuti pikiran dan benak Abu Bakar muda kala itu. Maka setelah jatuh waktunya, ia bersama abang dan keluarga yang lainnya pun berangkat menggunakan kapal laut, transportasi satu-satunya yang tersedia kala itu. Pemerintah belum menyediakan sarana transportasi udara. Maka bisa dibayangkan berapa waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai di Makkah al-Mukarramah?
Atas dasar itulah, semua perlengkapan perjalanan dipersiapkannya mulai dari hal yang sederhana, yaitu selimut yang tebal karena pasti akan menghadapi dinginnya udara malam hingga sampai yang paling sederhana, yaitu alat kebutuhan memasak. Sebab, di sepanjang perjalanan, para calon haji diwajibkan untuk memasak sendiri.
Waktu terus berjalan. Hari berganti bulan dan Abu Bakar muda masih berada di kapal lautnya. Selama itu pula, ia merasakan panasnya terik matahari di siang hari dan dinginnya angin malam hari, hingga membuatnya sangat terbiasa dengan hal semacam itu. Kapal laut pun seolah menjadi rumah keduanya. Sebab, di tempat itu pula ia makan dengan memasak sendiri, yang berasnya diberi oleh pemerintah.
Bete alias tidak kerasan kadang dirasakannya. Maklum, jiwanya masih muda, tidak sesabar orang tua atau orang yang usianya lebih tua darinya. Namun, niat mulia untuk bisa sampai di tanah suci, membuatnya berusaha untuk menepikan semua hal yang membuatnya tidak kerasan tersebut. Suka atau tidak suka, keadaan getir selama berada di tengah laut harus dihadapinya.
Dan sebagai orang kampung, Abu Bakar sudah terbiasa menghadapi situasi yang menekan tersebut. Namun, karena usianya yang masih muda, ia pun tidak terlalu banyak dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau dapur di kapal. Masih ada orang lain yang meringankan bebannya.
Tidak terasa, sudah mendekati 3 bulan Abu Bakar berada di kapal. Selama itu pula ia melewati berbagai perkampungan atau kawasan yang mungkin selama ini baru pertama kali ia lihat. Namun, dari sekian pengalaman manis selama di atas kapal, hal yang tak terlupakan adalah saat ia melewati laut merah yang konon menjadi pemakaman umum bagi Raja Fir'aun dan tentaranya yang durhaka kepada Allah. Selama ini ia hanya mendengar dari kisah-kisah yang dituturkan sang guru atau buku pelajaran sekolah yang dibacanya. Kini, laut merah itu telah ada di hadapannya dan tangannya bisa saja menyentuh airnya, namun ia tak memberanikan diri.
Tentu, hal yang paling tak bisa dilupakannya adalah saat kapalnya melewati area konflik Pakistan dan India. Rasa deg-degan dan khawatir kerapkali menghantui seluruh penumpang kapal, tak terkecuali dirinya. Sebab, dari atas kapal mereka kerapkali mendengar suara dentuman bahan peledak atau martil yang ditembakkan oleh para tentara atau sipil. Bahkan, mereka kadang melihat dengan mata mereka sendiri senjata-senjata yang ditembakannya melintas langit-langit di atas kapalnya. Sangat mengerikan sekali!
Menurut Abu Bakar, tidak sedikit kapal-kapal pedagang menjadi korban penembakan kedua belah pihak. Korban jiwa pun tak terelakkan kembali. “Jika terlambat saja kami memberikan signal kalau kami adalah kapal ibadah haji, mungkin kapal kami juga sudah ditembak,” kisah Abu Bakar.
Meski telah memberikan signal kapal haji, perasaan khawatir itu tetap saja terus menghantui sepanjang perjalanan mereka, sebelum benar-benar melewati perbatasan atau areal konflik tersebut. Pertanyaan kecilnya mungkin kadang merayap di pikirannya, kenapa kapal lautnya harus melewati area itu? Hingga kini ia pun tak menemukan jawabannya. Dan jawaban yang paling bisa dimengerti adalah mungkin tidak ada jalan lain, selain melewati arah itu.
Tapi, berkah pertolongan Allah akhirnya kapal laut yang ditumpanginya pun selamat dari terjangan peluru atau martil dari kedua belah pihak yang sedang bertikai. Mereka pun bisa sampai di Masjidil Haram untuk beribadah haji mengelilingi Ka'bah dan ziarah ke Makam Rasulullah. Pedihnya berada di kapal laut terbayarkan lunas dengan melihat keagungan kota Mekkah dengan segala keajaibannya di dalam.
Menurut Abu Bakar, selama naik haji ia pertama kalinya bisa melihat kain penutup Ka'bah dibuka untuk dicuci. Ia pun bisa melihat dari pintu, kalau di dalam bangunan berbentuk kubus tersebut ada tiang-tiang penyanggah. Ia pun bisa mencium hajar aswad, yang konon dulunya berwarna putih tersebut. Bahkan, makam Rasulullah dan gua hira pun bisa disinggahinya. Sebuah pengalaman spiritual yang tak bisa dilupakan tentunya. Karena itu, saat berada di Masjid Nabawi, ia sempat menangis karena tak pernah berhenti mengagumi keagungan sekitar Makkah al-Mukarramah. Rasanya ia ingin kembali lagi ke sana jika Tuhan berkehendak.
Setelah beberapa hari berada di kota Makkah dan Madinah untuk naik haji, Abu Bakar pun pun kembali ke kampung halaman. Kini, gelar haji pun sudah disandangnya. Namun, ia tak boleh jumawa. Sebab, haji hanyalah sebuah gelar duniawi. Pada hakekatnya, yang paling penting adalah ibadah dan amal saleh yang selalu dilakukannya setiap waktu.
Kini, di usianya yang sudah tidak muda lagi (64 th), hidup kakek Abu Bakar banyak dihabiskan di Masjid al-Hikmah, Kedaton, Bandar Lampung. Sehari-hari ia menjadi tukang adzan (muadzin) dan mengurus keperluan masjid. Hidupnya benar-benar dihabiskan untuk akherat. Bagaimana usaha kopranya, semuanya tinggal kenangan. Seiring waktu, rupanya usaha itu mulai ditinggalkannya dan lebih memilih mengabdi pada masjid. Ya, kakek Abu Bakar telah bahagia dengan dunianya.
Demikian kisah haru biru seseorang yang tiga bulan berada di atas kapal untuk naik haji. Dengan kondisi yang berbeda dengan sekarang, yaitu naik pesawat terbang bagi jamaah haji, sejatinya ibadah haji sekarang harus dilakoni lebih khusyuk dan khidmat. Semoga!

Tidak ada komentar: